Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melawan Hoaks, Merawat Akal Sehat Bersama Kompas.com

14 September 2025   19:11 Diperbarui: 14 September 2025   19:11 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar salah satu artikel KOMPAS.com edisi hari ini, Minggu, (14/9/2025). Dok. Pribadi.

Ada satu kebiasaan kecil yang selalu saya lakukan setiap hari, yakni: membuka Kompas.com. Sekilas, mungkin terlihat sederhana, bahkan biasa-biasa saja. Namun, bagi saya, kebiasaan itu adalah cara paling nyata untuk menjaga akal sehat di tengah derasnya arus informasi.

Kita semua tahu, hidup di era digital seperti sekarang adalah hidup dalam banjir informasi. Kabar datang dari segala arah, dari grup WhatsApp keluarga, media sosial, hingga notifikasi yang tiba-tiba muncul di layar gawai. 

Masalahnya, tidak semua informasi yang beredar itu benar. Ada yang sekadar rumor, ada yang sengaja dibuat untuk menipu, bahkan ada yang dipoles begitu rapi sehingga sulit dibedakan dengan fakta.

Di sinilah masalah besar bernama hoaks hadir. Ia tidak hanya menyesatkan, tapi juga bisa memecah belah, menebar kebencian, bahkan membahayakan. 

Kita pernah melihat bagaimana hoaks tentang pandemi Covid-19 membuat banyak orang panik, menolak vaksin, atau percaya pada teori konspirasi. Itu contoh nyata bagaimana informasi yang salah bisa berdampak pada kesehatan masyarakat, bahkan nyawa.

Saya sendiri pernah menjadi "korban" hoaks. Bukan sampai melakukan hal konyol, tetapi pernah merasa cemas, bingung, bahkan marah setelah membaca berita yang ternyata palsu. Dari pengalaman itu, saya belajar satu hal penting: kita tidak bisa lagi hanya jadi pembaca pasif. Kita harus pintar memilih sumber informasi. Dan dari semua pilihan yang ada, saya akhirnya lebih gandrung pada Kompas.com.

Kompas.com Sebagai Ruang Belajar Harian

Sejak beberapa tahun terakhir, Kompas.com menjadi semacam ruang kelas bagi saya. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas, saya menyempatkan diri membuka situs ini. Terkadang hanya membaca berita utama, kadang membaca ulasan panjang. Namun, dari rutinitas itu, saya merasa selalu mendapatkan sesuatu yang baru.

Mengapa Kompas.com? Sebenarnya, ada banyak media besar di Indonesia yang juga kredibel. Saya tidak menutup mata akan hal itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda dengan Kompas. Gaya bahasanya tenang, tidak meledak-ledak, tidak sensasional. Justru karena itulah saya merasa lebih nyaman. Saya merasa sedang diajak berpikir, bukan sekadar dihebohkan.

Saya masih ingat ketika pandemi melanda. Di saat media sosial penuh dengan kabar simpang siur, dari obat herbal yang katanya bisa menyembuhkan Covid hingga isu-isu menakutkan tentang teori konspirasi, Kompas.com hadir dengan data. 

Beritanya diverifikasi, dilengkapi penjelasan dari ahli, dan ditulis dengan bahasa yang menenangkan. Dari situlah saya belajar bahwa literasi bukan sekadar membaca, tapi memilih bacaan yang tepat.

Kompas.com bagi saya bukan sekadar media, tapi semacam guru yang mengajarkan cara berpikir jernih. Melalui berita politik, saya belajar melihat dinamika demokrasi tanpa harus ikut larut dalam polarisasi. 

Dari liputan ekonomi, saya bisa memahami perubahan harga pangan hingga kebijakan moneter yang kadang terasa jauh, tetapi sesungguhnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan dari rubrik budaya atau gaya hidup, saya menemukan inspirasi tentang bagaimana manusia menghadapi perubahan zaman.

Tentu, Kompas tidak sempurna. Tidak ada media yang sempurna. Namun, justru dari konsistensi menjaga integritas, saya belajar bahwa kepercayaan itu tidak dibangun dalam sehari. Ia lahir dari komitmen panjang, dari kesetiaan terhadap prinsip jurnalisme yang baik.

Ulang Tahun ke-30: Momentum Merawat Literasi dan Kepercayaan

Hari ini, Minggu 14 September, Kompas.com genap berusia 30 tahun. Tiga dekade bukan waktu yang singkat. Di tengah dunia digital yang berubah begitu cepat, bertahan selama itu adalah sebuah pencapaian besar.

Saya membayangkan, betapa banyak peristiwa penting yang telah diliput Kompas.com selama 30 tahun terakhir. Dari masa reformasi 1998, pergantian pemerintahan, perdebatan demokrasi, hingga era media sosial dan kecerdasan buatan yang kita jalani sekarang. Semua itu terekam, terdokumentasi, dan disajikan dengan cara yang mendidik pembaca.

Namun, tantangan terbesar di usia ke-30 ini justru datang dari hal yang mungkin dulu tidak pernah terbayangkan: hoaks. Jika dulu hoaks hanya berbentuk kabar angin di warung kopi atau pesan berantai sederhana, kini ia hadir dalam bentuk yang lebih canggih. 

Ada video palsu yang terlihat nyata, ada foto yang dimanipulasi, bahkan ada berita yang ditulis dengan gaya sangat meyakinkan padahal isinya dusta.

Di sinilah saya melihat peran vital Kompas.com. Ia bukan sekadar media, tetapi benteng yang melindungi masyarakat dari serangan misinformasi. Tentu saja, media tidak bisa bekerja sendirian. Kita sebagai pembaca juga punya tanggung jawab. Membaca berita dari sumber terpercaya adalah bentuk dukungan nyata terhadap jurnalisme yang sehat.

Ulang tahun ke-30 ini bagi saya adalah momentum untuk mengingatkan diri sendiri: literasi digital bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Jika kita ingin melawan hoaks, maka kita harus bersama-sama merawat kepercayaan. Percaya pada media yang kredibel, percaya pada data, dan percaya bahwa kebenaran masih punya tempat di ruang publik.

Saya yakin, Kompas.com masih punya perjalanan panjang. Dunia akan terus berubah, teknologi akan semakin canggih, tapi prinsip jurnalisme sejati akan selalu relevan. Justru di tengah banjir informasi, kehadiran media yang dapat dipercaya semakin dibutuhkan.

Catatan Personal: Kompas Sebagai Sahabat

Ketika saya menulis artikel ini, saya merasa seperti sedang berbicara dengan sahabat lama. Kompas.com memang bukan manusia, tapi kehadirannya dalam keseharian saya membuat hubungan ini terasa personal.

Saya teringat masa-masa awal kuliah, ketika tugas-tugas menuntut bacaan yang luas. Saat itu, saya sering mengandalkan arsip berita Kompas untuk mencari data dan referensi. 

Dari sana, saya belajar bagaimana menulis dengan rapi, menyusun argumen dengan baik, bahkan meniru gaya bahasa jurnalistik yang lugas. Sampai sekarang, jejak itu masih ada.

Bagi sebagian orang, membaca berita mungkin hanya sekadar mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tapi bagi saya, ini adalah cara menjaga diri dari kabar palsu, cara merawat kewarasan, bahkan cara melatih logika. 

Setiap kali membuka Kompas.com, saya merasa sedang berada di ruang belajar. Ada guru yang sabar menjelaskan, ada ruang diskusi, ada kesempatan untuk merenung.

Hari ini, ketika Kompas.com berulang tahun ke-30, saya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah menjadi teman perjalanan intelektual saya. Terima kasih karena sudah membantu saya melawan hoaks, bahkan ketika dunia digital terasa begitu bising.

Harapan saya sederhana: semoga Kompas.com tetap konsisten, tetap menjadi media yang tenang, berimbang, dan mendidik. Jangan tergoda pada sensasi, jangan terburu-buru dalam mengejar klik. Karena kepercayaan adalah modal yang lebih berharga daripada sekadar popularitas sesaat.

Pada akhirnya, melawan hoaks bukan hanya tentang memerangi kebohongan, tetapi juga tentang merawat akal sehat. Dan merawat akal sehat adalah tanggung jawab bersama: media, jurnalis, dan pembaca. Jika kita mau berjalan bersama, saya percaya masa depan informasi di negeri ini akan tetap terang.

Selamat ulang tahun, Kompas.com. Tiga puluh tahun bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru. Mari terus berjalan, melawan hoaks, merawat literasi, dan menjaga akal sehat kita bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun