Indonesia kembali diguncang gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Jalanan dipenuhi mahasiswa, buruh, hingga masyarakat kecil yang menuntut perubahan. Mereka marah karena kesulitan hidup yang semakin berat, harga bahan pokok melambung, dan pekerjaan makin sulit dicari. Namun, tak jarang protes itu berujung pada kerusuhan dan penjarahan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: mengapa bangsa kita selalu berada dalam lingkaran krisis yang seakan tak berkesudahan?
Banyak orang melihat persoalan ini sekadar sebagai masalah teknis: harga yang naik, lapangan kerja yang hilang, atau pejabat yang berperilaku buruk. Namun, di balik itu semua ada persoalan yang lebih mendasar, yakni cara kita berpikir dan memahami krisis itu sendiri. Tanpa pemahaman yang jernih, kita hanya akan menanggapi gejala di permukaan, sementara akar masalah tetap terabaikan.
Di sinilah nama Tan Malaka kembali relevan. Tokoh yang pernah dianggap berbahaya oleh penjajah, bahkan juga oleh bangsanya sendiri, meninggalkan warisan pemikiran yang dikenal dengan sebutan MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Buku yang ditulisnya pada 1943 itu sebenarnya dimaksudkan sebagai senjata intelektual bagi bangsa yang sedang berjuang melawan kolonialisme. Namun, siapa sangka, ia masih terasa segar hingga hari ini.
Ketika kita membaca ulang situasi Indonesia lewat MADILOG, kita menemukan cara pandang yang berbeda. Krisis tidak lagi dipandang sebagai kebetulan atau sekadar akibat dari "ulahlah rakyat", melainkan sebagai akibat dari kondisi material dan sistem sosial-politik yang timpang. Dengan logika Tan Malaka, kita bisa memahami bahwa amarah rakyat di jalanan tidak lahir dalam ruang hampa, tetapi dari realitas hidup yang menekan.
Pertanyaannya, sanggupkah kita belajar kembali dari Tan Malaka untuk keluar dari lingkaran krisis yang membelenggu negeri ini? Ataukah kita justru terus terjebak pada cara berpikir lama yang hanya memperpanjang masalah?
Mengapa Krisis Indonesia Tak Pernah Usai
Krisis di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, rakyat kerap dihadapkan pada persoalan yang hampir sama: inflasi tinggi, pengangguran, kesenjangan, dan perilaku elite politik yang mengecewakan. Pada 1998, misalnya, demonstrasi besar-besaran yang berakhir dengan runtuhnya Orde Baru dipicu oleh krisis ekonomi yang membuat harga melambung dan rakyat kehilangan daya beli. Dua puluh lima tahun berselang, gejala serupa kembali muncul, meski dalam konteks yang berbeda.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2023 masih berada di angka 5,45% atau sekitar 7,99 juta orang. Di sisi lain, jumlah penduduk miskin mencapai 25,90 juta jiwa pada Maret 2023. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup, sementara kehidupan mewah para elite politik dan pengusaha besar terpampang nyata di ruang publik.
Kesenjangan inilah yang menimbulkan frustrasi sosial. Rakyat melihat ada jurang yang sangat lebar antara janji politik dengan kenyataan hidup sehari-hari. Mereka dijanjikan kesejahteraan, namun yang datang justru penggusuran, PHK, dan beban hidup yang kian menyesakkan. Wajar bila kekecewaan itu meledak dalam bentuk demonstrasi.
Sayangnya, respons negara sering kali hanya menitikberatkan pada aspek keamanan. Demonstrasi dianggap ancaman yang harus segera diredam, bukan sebagai sinyal bahaya dari sistem sosial-ekonomi yang timpang. Akibatnya, kerusuhan yang muncul dipandang sebagai kesalahan rakyat semata, tanpa upaya serius mencari akar masalah.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa setiap krisis besar di Indonesia selalu berakar pada persoalan material. Krisis 1965 dipicu instabilitas ekonomi dan harga-harga yang melonjak. Krisis 1998 diawali runtuhnya rupiah dan PHK massal. Kini, ketika harga pangan naik dan lapangan kerja sulit, wajar jika rakyat kembali marah. Semua ini bukan sekadar soal emosi, melainkan realitas hidup.