Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Membaca Krisis Indonesia Lewat Tan Malaka

1 September 2025   12:12 Diperbarui: 1 September 2025   12:05 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI, Kamis, 28/08/2025. (Sumber: merdeka.com/Freepik)

Sementara itu, dari sisi Logika, kita bisa melihat betapa seringnya negara gagal bersikap rasional dalam menghadapi krisis. Kebijakan ekonomi lebih sering diputuskan berdasarkan kepentingan politik jangka pendek daripada pertimbangan ilmiah. Alih-alih mendengarkan data dan fakta, para pemimpin lebih sibuk mencari pencitraan. Akibatnya, solusi yang diambil tidak menyentuh akar masalah, hanya tambal sulam.

Ambil contoh soal korupsi. Jika dilihat secara materialis, korupsi terjadi karena ada kesempatan dan sistem yang membuka ruang. Dialektika menunjukkan adanya pertentangan antara rakyat yang ingin transparansi dan elite yang ingin mempertahankan privilese. Secara logis, solusi paling masuk akal adalah membangun sistem yang menutup celah korupsi, misalnya dengan digitalisasi birokrasi. Namun yang sering terjadi justru sebaliknya: aturan diperbanyak, birokrasi makin rumit, dan peluang korupsi makin luas.

Hal yang sama berlaku pada etika pejabat. Secara material, mereka hidup nyaman, bergaji tinggi, dan mendapat berbagai fasilitas. Ketika mereka bersikap tidak etis, itu mencerminkan jarak material dengan rakyat. Dialektika muncul karena rakyat merasa tidak diwakili. Secara logis, solusinya adalah memperkuat mekanisme pengawasan rakyat, misalnya melalui keterbukaan informasi dan sistem recall anggota DPR. Tapi selama logika publik diabaikan, masalah ini akan terus berulang.

MADILOG membantu kita melihat bahwa krisis Indonesia bukan soal moral semata, tetapi soal struktur material, dinamika sosial, dan logika kebijakan. Dengan kerangka ini, kita tidak mudah menyalahkan rakyat atau sekadar mengutuk pejabat, melainkan mencari solusi yang lebih rasional dan menyeluruh.

Contoh Konkret

Demonstrasi yang berujung kerusuhan bisa dijelaskan dengan mudah lewat MADILOG. Secara material, rakyat yang sulit makan dan tidak punya pekerjaan mencari cara untuk melepaskan frustrasi. Secara dialektis, mereka merasa tidak didengar oleh elite, sehingga memilih jalan kekerasan agar diperhatikan. Secara logis, negara seharusnya merespons dengan membuka kanal aspirasi yang jernih, bukan dengan menambah kekerasan aparat.

Korupsi juga demikian. Materialisme mengajarkan bahwa korupsi bukan sekadar "moral buruk", tetapi lahir dari sistem yang memberi peluang. Dialektika menjelaskan mengapa rakyat marah, sementara elite mencoba melindungi diri. Secara logika, penyelesaian bukan hanya menambah hukuman, melainkan membangun sistem yang menutup peluang.

Contoh lain ada pada pengangguran. Materialisme menunjukkan akar masalahnya: industri tidak berkembang, lapangan kerja sempit, dan banyak tenaga kerja tidak terserap. Dialektika muncul ketika rakyat menuntut kerja, tapi kebijakan pemerintah justru mengandalkan investasi asing yang sering tak ramah buruh. Secara logika, solusi adalah memperkuat industri kecil-menengah dan melatih tenaga kerja.

Dengan MADILOG, kita bisa melihat masalah-masalah bangsa dengan lebih jernih. Ia memaksa kita untuk tidak berhenti pada gejala, tetapi masuk ke akar persoalan. Dari sini, kita bisa menemukan jalan keluar yang lebih realistis.

Mengapa Kita Perlu Belajar dari Tan Malaka

Tan Malaka pernah menulis bahwa bangsa yang tidak belajar berpikir ilmiah akan mudah ditipu, baik oleh penjajah maupun oleh pemimpinnya sendiri. Kalimat itu seolah menjadi cermin bagi Indonesia hari ini. Kita sering kali lebih percaya pada slogan politik, mitos pembangunan, atau pencitraan media, ketimbang pada logika dan data yang nyata.

Krisis demi krisis menunjukkan bahwa bangsa ini gagal berpikir logis dalam merumuskan kebijakan. Alih-alih mendengarkan keluhan rakyat kecil, pemerintah lebih sering mendengar kepentingan elite ekonomi dan politik. Akibatnya, kebijakan yang lahir tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru.

Belajar dari Tan Malaka berarti berani menempatkan realitas material rakyat sebagai titik awal. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi 5% jika rakyat tidak merasakan kesejahteraannya? Apa artinya kemajuan teknologi jika jutaan anak muda tetap menganggur? Materialisme menuntut kita untuk jujur melihat kenyataan hidup rakyat, bukan sekadar angka-angka indah di laporan resmi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun