Lebih parah lagi, masalah ini diperburuk oleh rendahnya etika sebagian pejabat publik. Sikap anggota DPR yang tertawa di tengah sidang saat rakyat mengeluh harga beras naik, atau kasus korupsi yang terus mencuat, semakin menambah bara di hati masyarakat. Rakyat merasa tidak didengar, bahkan diremehkan.
Selama pola pikir ini tidak berubah, krisis akan terus berulang. Kita hanya akan bergerak dari satu gelombang demonstrasi ke gelombang lainnya, tanpa solusi yang jelas. Maka, penting untuk mencoba membaca ulang situasi ini dengan kerangka pemikiran yang lebih dalam, seperti yang ditawarkan Tan Malaka.
Sekilas tentang MADILOG Tan Malaka
Tan Malaka menulis MADILOG pada masa pendudukan Jepang. Dalam situasi penuh tekanan itu, ia ingin memberikan fondasi berpikir ilmiah bagi rakyat Indonesia. Bagi Tan, bangsa yang ingin merdeka tidak cukup hanya mengangkat senjata, tapi juga harus merdeka dalam cara berpikir. Itulah sebabnya ia mengajarkan tiga pilar utama: Materialisme, Dialektika, dan Logika.
Materialisme, menurut Tan, adalah cara melihat kenyataan berdasarkan kondisi material atau nyata. Bukan mitos, bukan tahayul, bukan pula janji kosong. Artinya, jika rakyat lapar, masalahnya bukan karena kurang doa atau karena nasib, tetapi karena distribusi pangan yang buruk atau ekonomi yang tidak berpihak pada mereka.
Dialektika adalah kesadaran bahwa hidup selalu bergerak melalui kontradiksi. Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui benturan antara kepentingan yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, benturan itu terjadi antara rakyat yang menuntut kesejahteraan dan elite yang mempertahankan privilese. Tan Malaka melihat dialektika ini sebagai motor sejarah yang tak terhindarkan.
Logika menjadi fondasi ketiga. Ia menekankan pentingnya berpikir rasional dan sistematis. Tan menolak segala bentuk pemikiran yang kabur, emosional, atau terjebak dalam dogma. Baginya, tanpa logika, bangsa akan mudah ditipu, baik oleh penjajah maupun oleh pemimpinnya sendiri.
Uniknya, meski ditulis lebih dari 80 tahun lalu, prinsip MADILOG masih terasa segar hingga sekarang. Banyak persoalan bangsa Indonesia hari ini sebenarnya bisa dipahami dengan kerangka tersebut. Mulai dari masalah ekonomi hingga politik, semua bisa dilihat secara lebih jernih jika kita berani meninggalkan cara berpikir lama yang hanya mengulang retorika.
Dengan memahami MADILOG, kita bisa mengurai krisis Indonesia bukan sebagai takdir, tetapi sebagai hasil dari kondisi material, kontradiksi sosial, dan kegagalan berpikir logis. Inilah yang akan kita coba lakukan untuk membaca situasi Indonesia hari ini.
Membaca Krisis Indonesia dengan MADILOG
Jika kita memandang situasi bangsa dengan prinsip Materialisme, maka jelas bahwa akar dari berbagai krisis ada pada kondisi ekonomi rakyat. Demonstrasi yang berujung ricuh bukanlah semata-mata karena ada provokator, melainkan karena rakyat lapar, kehilangan pekerjaan, dan tidak melihat masa depan.Â
Menurut laporan Bank Dunia (2023), tingkat pengangguran muda di Indonesia mencapai 16%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Angka ini adalah bukti nyata bahwa banyak anak muda Indonesia yang tidak mendapat tempat dalam perekonomian nasional.
Dengan kacamata Dialektika, krisis Indonesia dapat dilihat sebagai pertentangan antara rakyat dan elite. Rakyat menuntut keadilan dan kesejahteraan, sementara elite sibuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan politiknya. Ketika suara rakyat tidak dihiraukan, pertentangan itu semakin keras dan meledak dalam bentuk aksi jalanan. Demonstrasi adalah bagian dari dinamika sejarah yang wajar dalam masyarakat yang penuh kontradiksi.