"Mari berhenti melabeli, karena setiap perempuan single parent bukan sekadar 'janda', melainkan pejuang kehidupan yang layak dihormati."
Pernahkah kita berhenti sejenak untuk membayangkan bagaimana rasanya mengasuh seorang anak tanpa pasangan di sisi kita? Bayangan itu mungkin terasa berat, namun bagi sebagian perempuan di negeri ini, itu adalah kenyataan sehari-hari yang tidak bisa dihindari. Mereka harus menjadi orang tua tunggal, yang berarti memegang dua peran sekaligus: pencari nafkah dan pengasuh utama.
Ketika sebuah rumah tangga berakhir karena perceraian atau kehilangan pasangan, yang tersisa hanyalah keharusan untuk tetap melanjutkan hidup. Anak-anak tetap harus sekolah, tetap membutuhkan makan, tetap memerlukan bimbingan.Â
Dalam situasi itu, perempuan single parent sering kali harus menata ulang seluruh kehidupannya. Tidak hanya soal materi, tetapi juga soal mental yang harus tetap kokoh di depan anak.
Sayangnya, beban itu tidak berhenti di situ. Selain harus bekerja keras mencari nafkah, mereka juga harus menghadapi tekanan sosial yang sering datang dalam bentuk stigma. Label "janda" misalnya, kerap menjadi beban tambahan yang melekat pada perempuan single parent. Kata yang seharusnya netral, justru sering digunakan sebagai ejekan atau bahkan penghakiman.
Perempuan single parent kerap dilihat dengan tatapan berbeda. Alih-alih dihargai atas perjuangannya, mereka sering dicurigai, digosipkan, bahkan dijauhi. Padahal, tidak ada satu pun perempuan yang bercita-cita menjadi janda sejak awal. Status itu lahir dari perjalanan hidup, yang kadang penuh luka, kadang penuh keputusan sulit, tetapi tetap pantas dihargai.
Tulisan ini ingin mengajak kita melihat lebih dekat realitas perempuan single parent: bagaimana mereka mengasuh anak seorang diri, bagaimana mereka berjuang menghidupi keluarga, dan bagaimana mereka menghadapi label sosial yang tidak jarang lebih menyakitkan daripada kenyataan hidup itu sendiri.
Mengasuh Anak Seorang DiriÂ
Mengasuh anak bukan pekerjaan mudah, bahkan ketika dilakukan berdua bersama pasangan. Apalagi jika semua tanggung jawab itu harus ditanggung seorang diri. Perempuan single parent dituntut untuk menjadi sosok ibu yang penuh kasih sayang sekaligus figur ayah yang tegas. Peran ganda ini sering kali menimbulkan dilema, karena tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan kehadiran pasangan.
Banyak perempuan single parent yang harus belajar memainkan dua peran itu dengan seimbang. Di satu sisi, mereka harus memastikan anak mendapatkan perhatian emosional yang cukup. Di sisi lain, mereka juga harus mengajarkan disiplin dan kemandirian. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran salah satu orang tua memang menghadapi tantangan tersendiri, tetapi dengan cinta dan keteguhan, banyak ibu tunggal berhasil mengisi kekosongan itu.
Tidak jarang, anak-anak dari keluarga single parent justru tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Mereka terbiasa melihat ibunya bekerja keras dan berjuang tanpa menyerah. Nilai ketangguhan itu tanpa sadar diwariskan kepada mereka. Namun, tentu saja, di balik itu ada banyak air mata yang mungkin tidak terlihat. Ibu tunggal sering kali menahan rasa lelah dan sedih agar tidak terlihat rapuh di depan anak-anaknya.
Realitas ini diperkuat oleh penelitian psikologi yang menyebutkan bahwa anak-anak dari keluarga single parent bisa tetap tumbuh sehat secara mental jika mendapatkan dukungan emosional yang cukup dari orang tua yang ada. Menurut American Psychological Association (APA), kunci penting dalam keluarga tunggal adalah stabilitas dan konsistensi dalam pengasuhan. Hal ini juga berlaku di Indonesia, di mana dukungan ibu tunggal sangat menentukan perkembangan anak.