Dalam kerangka itu, kritik publik bukan sekadar olok-olok. Ia adalah wujud rasa cinta yang dibalut kekecewaan. Publik ingin film nasional yang bisa dibanggakan, bukan yang jadi bahan tertawaan. Dan meskipun bentuknya kasar, kritik ini pada dasarnya mengandung semangat nasionalisme juga.
Seni, industri, dan nasionalisme akhirnya bertemu dalam satu titik: kualitas. Tanpa kualitas, seni kehilangan daya pikatnya. Tanpa kualitas, industri kehilangan pasarnya. Tanpa kualitas, nasionalisme kehilangan dampaknya. Merah Putih: One For All menjadi contoh nyata bahwa ketiganya tidak bisa dipisahkan.
Pada akhirnya, film ini harus kita lihat sebagai proses belajar. Dari sisi seni, kita belajar bahwa keberanian bereksperimen tidak boleh berhenti pada niat. Dari sisi industri, kita belajar bahwa dana besar tidak menjamin hasil jika tidak dikelola dengan baik. Dari sisi nasionalisme, kita belajar bahwa pesan kebangsaan harus dikemas dengan serius agar bisa diterima generasi muda.
Dan mungkin inilah hikmah terbesar dari kontroversi film ini. Ia membuka ruang bagi kita untuk membicarakan seni, industri, dan nasionalisme dalam satu meja. Sesuatu yang jarang terjadi di ruang publik kita. Justru lewat kegagalannya, film ini mengajarkan sesuatu yang lebih luas daripada isi ceritanya sendiri.
Kesimpulan
Film Merah Putih: One For All memang hadir dengan kontroversi. Sejak pertama kali dirilis, publik lebih banyak menyoroti kelemahan teknis animasi daripada pesan kebangsaan yang coba dibawanya. Kritik pedas mengalir deras, dari mulai penggunaan aset visual yang dianggap seadanya hingga eksekusi cerita yang dinilai kurang menggigit. Namun, di balik semua kekurangan itu, film ini tetap menyimpan niat baik untuk memperkenalkan semangat kebhinekaan kepada generasi muda.
Jika kita mau melihat lebih dalam, film ini sebenarnya menghadirkan alegori sederhana tentang perjalanan bangsa. Delapan anak dari latar belakang berbeda yang berusaha menemukan kembali bendera pusaka adalah simbol kuat tentang bagaimana Indonesia bisa bertahan hanya jika perbedaan dijadikan kekuatan. Pesan itu tetap penting, meski penyampaiannya tidak sempurna.
Dari sisi industri, film ini menjadi cermin bahwa standar publik terhadap animasi Indonesia semakin tinggi. Penonton tidak lagi mau menerima karya yang hanya mengandalkan nama besar atau momen patriotisme. Mereka ingin karya yang tidak hanya sarat pesan, tetapi juga memiliki kualitas visual yang membanggakan. Kritik yang muncul seharusnya dibaca sebagai bentuk kepedulian, bukan sekadar cemoohan.
Pada akhirnya, Merah Putih: One For All bisa kita lihat sebagai pelajaran berharga. Ia mengingatkan bahwa seni, industri, dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan. Niat baik harus ditopang oleh kualitas produksi, dan pesan mulia harus dikemas dalam bentuk yang mampu menyentuh hati. Tanpa itu semua, risiko yang muncul adalah pesan tenggelam dalam kritik.
Namun demikian, film ini tetap layak diapresiasi sebagai sebuah langkah awal. Ia mungkin belum sempurna, tetapi ia membuka ruang diskusi yang penting: bagaimana cara terbaik menyampaikan pesan kebangsaan di era modern? Pertanyaan ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi sineas, pemerintah, dan juga publik. Sebab, pada akhirnya, kebhinekaan bukan hanya soal cerita di layar lebar, melainkan soal bagaimana kita membacanya dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI