Di tengah derasnya kritik, ada satu hal yang sering terlupakan dari film Merah Putih: One For All: pesan kebhinekaan yang coba dibawa lewat alur ceritanya. Memang benar, secara teknis film ini penuh keterbatasan. Tapi jika kita menaruh sejenak kekecewaan pada visual, kita masih bisa menangkap nilai penting tentang persatuan yang menjadi inti kisahnya.
Simbol pertama yang paling jelas adalah keberadaan delapan anak dari latar budaya berbeda. Ini bukan kebetulan, melainkan keputusan sadar untuk menampilkan wajah Indonesia dalam bentuk yang paling nyata: keberagaman. Setiap anak dengan dialek, pakaian, dan sifat khasnya menjadi representasi bahwa bangsa ini memang dibangun dari perbedaan. Mereka adalah potret kecil dari Bhinneka Tunggal Ika.
Sejak awal, interaksi antar karakter sudah memperlihatkan tantangan yang dihadapi bangsa ini sehari-hari. Ada perbedaan pendapat, ada ego yang besar, bahkan ada ketidakpercayaan satu sama lain. Semua itu mencerminkan realitas sosial di Indonesia, di mana perbedaan sering kali menjadi sumber gesekan. Namun, film ini menunjukkan bahwa di balik gesekan itu, ada peluang untuk saling memahami.
Perjalanan mencari bendera pusaka kemudian menjadi semacam metafora tentang perjalanan bangsa Indonesia menjaga persatuannya. Sama seperti anak-anak itu yang harus melewati sungai, hutan, dan badai, bangsa ini juga harus melewati berbagai cobaan: konflik sosial, perbedaan politik, hingga tantangan global. Bedanya, film ini menyajikannya dalam bentuk petualangan anak-anak, sehingga lebih mudah dipahami oleh penonton muda.
Bendera pusaka yang hilang sendiri adalah simbol paling kuat dalam cerita. Hilangnya bendera bisa dibaca sebagai hilangnya arah, hilangnya semangat, atau bahkan hilangnya identitas nasional. Dengan demikian, misi mencari bendera bukan sekadar aksi seru-seruan, melainkan perjalanan spiritual untuk menemukan kembali jati diri bangsa. Adegan ketika bendera berhasil ditemukan lalu dikibarkan adalah penegasan bahwa persatuan hanya bisa dicapai bila semua pihak mau bekerja sama.
Meski cara penyampaiannya sederhana, pesan semacam ini sebenarnya sangat relevan. Di era ketika perbedaan sering dijadikan bahan perpecahan, mengingatkan kembali bahwa Indonesia berdiri di atas keragaman adalah hal yang penting. Justru karena film ini ditujukan untuk anak-anak, pesan tersebut bisa lebih mudah ditangkap sejak dini. Mereka bisa belajar bahwa teman dari suku atau daerah lain bukanlah musuh, melainkan rekan yang bisa diajak berjuang bersama.
Jika kita tarik lebih jauh, hubungan antar karakter juga bisa dibaca sebagai cerminan dinamika politik dan sosial bangsa. Ada karakter yang dominan, ada yang penakut, ada yang bijak, ada yang usil. Tetapi ketika dihadapkan pada masalah besar, semuanya harus menyatukan kekuatan. Ini persis dengan kondisi Indonesia yang punya banyak kelompok kepentingan, tapi hanya bisa bertahan jika semua mau saling melengkapi.
Dalam adegan-adegan tertentu, film ini juga menunjukkan bagaimana perbedaan bisa menjadi kekuatan. Anak Papua yang kuat fisiknya bisa membantu melewati sungai deras. Anak Tegal yang kocak bisa mencairkan suasana ketika konflik muncul. Anak Betawi dengan sifat blak-blakan bisa memecahkan kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Semua keunikan itu akhirnya menjadi modal utama untuk menyelesaikan misi.
Sayangnya, karena kelemahan teknis, pesan ini sering kali tidak terlihat jelas. Animasi yang kaku membuat ekspresi persahabatan atau konflik antar karakter tidak terasa hidup. Penonton lebih sibuk memperhatikan "kejanggalan" gerak tubuh daripada menyelami makna interaksi mereka. Padahal, jika visualnya lebih baik, kemungkinan besar pesan kebhinekaan ini akan lebih mudah menyentuh hati penonton.
Meski begitu, bukan berarti pesan tersebut hilang sama sekali. Bagi penonton yang mau melihat lebih dalam, film ini tetap bisa dibaca sebagai sebuah alegori tentang kebersamaan. Bahkan, justru di balik keterbatasan teknisnya, kita bisa menemukan kejujuran: film ini tidak mencoba menjadi sesuatu yang rumit, melainkan sekadar mengingatkan bahwa perbedaan bisa diatasi dengan kerja sama.
Hal lain yang menarik adalah bagaimana film ini menekankan pentingnya menurunkan ego. Sepanjang perjalanan, setiap anak belajar untuk menahan diri. Mereka sadar bahwa jika terus memaksakan kehendak, bendera tidak akan pernah ditemukan. Inilah refleksi kehidupan berbangsa: tidak ada yang bisa menang sendiri. Semuanya harus mengalah demi tujuan yang lebih besar.