Petualangan dimulai dengan penuh tantangan. Mereka harus melewati sungai yang deras, menembus hutan lebat, dan menghadapi cuaca yang tidak bersahabat. Semua rintangan itu menjadi ujian, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Di titik inilah penonton sebenarnya bisa melihat bagaimana konflik batin antar karakter perlahan-lahan berubah menjadi kekompakan. Dari yang awalnya saling menyalahkan, mereka akhirnya belajar saling melengkapi.
Unsur-unsur cerita memang sederhana, bahkan bisa dibilang klise. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan pesan penting bahwa keberagaman bukanlah penghalang untuk bersatu. Setiap anak membawa kekuatan yang unik, dan hanya ketika mereka mau bekerja sama, mereka bisa menghadapi tantangan yang lebih besar. Di sinilah makna kebhinekaan diproyeksikan: perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disatukan.
Film ini juga berusaha menghadirkan nuansa nasionalisme lewat simbol-simbol visual. Bendera pusaka yang dicari menjadi benang merah cerita sekaligus lambang persatuan bangsa. Perjalanan yang berat untuk menemukan bendera itu seakan menjadi metafora tentang bagaimana Indonesia sendiri tidak pernah mudah menjaga persatuannya. Ada badai, ada jurang, ada banyak ujian, tapi semuanya bisa dilewati bila ada niat untuk bersama.
Meski begitu, alur cerita film ini berjalan dengan pola yang mudah ditebak. Penonton yang terbiasa dengan film petualangan mungkin sudah bisa mengira bagaimana akhir dari cerita ini. Namun, bagi sebagian besar anak-anak yang menjadi target utama film ini, kesederhanaan alur justru bisa lebih mudah dipahami. Pesan yang ingin disampaikan pun terasa lebih langsung tanpa harus dibungkus dengan kompleksitas yang berlebihan.
Salah satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana karakter-karakter ini tetap digambarkan dengan ciri khas daerah masing-masing. Misalnya, logat Papua yang ceria, gaya bicara Betawi yang blak-blakan, hingga anak Tegal yang kocak. Walaupun terkadang digambarkan dengan stereotipe sederhana, setidaknya film ini berusaha menghadirkan keberagaman budaya ke layar lebar, sesuatu yang masih jarang terlihat di film animasi lokal.
Puncak cerita tentu terjadi ketika bendera pusaka akhirnya berhasil ditemukan dan dikibarkan tepat waktu dalam upacara kemerdekaan. Adegan ini menjadi klimaks emosional yang dimaksudkan untuk membangkitkan rasa haru dan kebanggaan. Walaupun secara teknis tidak semua penonton merasa terhanyut, secara simbolis, momen itu tetap punya kekuatan. Melihat anak-anak dengan segala perbedaan berdiri tegak mengibarkan bendera merah putih adalah pengingat bahwa bangsa ini besar justru karena keberagamannya.
Dengan demikian, sinopsis film ini sebenarnya cukup kuat dalam menekankan pesan kebhinekaan. Sayangnya, pesan ini tenggelam di tengah sorotan kritik tentang visual dan eksekusi teknis. Banyak orang lebih sibuk membicarakan "bagaimana" film ini dibuat ketimbang "apa" yang ingin disampaikan. Padahal, jika dilihat dari sisi naratif, Merah Putih: One For All sudah meletakkan pondasi yang cukup baik untuk membangun kesadaran tentang pentingnya persatuan di tengah perbedaan.
Kontroversi dan Kritik Publik
Sejak trailernya muncul, Merah Putih: One For All sudah menimbulkan diskusi yang cukup panas di kalangan warganet. Banyak yang awalnya optimis karena film animasi lokal dengan tema nasionalisme tentu punya nilai strategis, terutama menjelang Hari Kemerdekaan. Akan tetapi, setelah tayang di bioskop, ekspektasi itu berubah menjadi kekecewaan. Hampir semua percakapan di media sosial membicarakan satu hal yang sama: kualitas animasinya dianggap jauh di bawah standar.
Salah satu kritik terbesar datang dari segi visual. Penonton menilai gerakan karakter kaku, ekspresi wajah minim, dan detail lingkungan terasa tidak alami. Bahkan ada yang menyebut hasilnya lebih mirip "animasi latihan" ketimbang film layar lebar. Perbandingan pun langsung bermunculan. Publik membandingkan film ini dengan animasi anak-anak di YouTube yang justru terasa lebih hidup. Komentar-komentar seperti itu viral dan semakin memperkeruh penerimaan film ini.
Kritik berikutnya adalah dugaan penggunaan aset stok. Beberapa netizen jeli menemukan bahwa latar kota dan model karakter yang muncul dalam film ternyata sangat mirip dengan aset digital yang dijual di platform animasi internasional. Misalnya, ada yang menuding penggunaan "Street of Mumbai" dari Daz3D serta karakter dari Reallusion Content Store. Temuan ini membuat penonton merasa film tidak dibuat dengan orisinalitas yang memadai, apalagi jika dibandingkan dengan klaim anggaran produksi yang mencapai miliaran rupiah.
Masalah lain yang tidak luput dari sorotan adalah kualitas suara. Banyak penonton merasa dialog yang terdengar datar dan kurang ekspresif, seolah-olah bukan diisi oleh aktor profesional. Beberapa menduga penggunaan suara buatan atau teknologi text-to-speech, meskipun pihak produksi tidak pernah mengonfirmasi hal ini. Akibatnya, pengalaman menonton terasa canggung karena intonasi dan emosi tidak selaras dengan visual yang ditampilkan.