Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Membaca Pesan Kebhinekaan di Balik Kontroversi Visual Film Animasi Merah Putih: One For All

17 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 17 Agustus 2025   00:31 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar trailer film Merah Putih One For All. (Sumber: perfiki tv/Freepik)

Film animasi Merah Putih: One For All baru saja tayang serentak di bioskop pada tanggal 14 Agustus lalu. Sejak awal kemunculannya, film ini sudah menimbulkan rasa penasaran banyak orang karena membawa nama besar "Merah Putih" yang identik dengan semangat kemerdekaan. Apalagi, film ini hadir di tengah euforia menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Rasanya pas sekali, karena tema yang diusung adalah kebersamaan, persatuan, dan cinta tanah air.

Namun, alih-alih disambut dengan tepuk tangan meriah, film ini justru menjadi bahan perbincangan panas di media sosial. Kritikan deras bermunculan, mulai dari kualitas animasi yang dianggap kaku, visual yang kurang halus, hingga dugaan penggunaan aset stok yang membuat film ini tampak seadanya. Tidak sedikit penonton yang merasa kecewa karena hasil akhirnya jauh dari ekspektasi, terutama setelah melihat trailer yang cukup menjanjikan.

Menariknya, kritik yang muncul justru jauh lebih besar daripada apresiasi atas niat baik film ini. Banyak yang lupa, di balik tampilan visual yang kontroversial, film ini sebenarnya membawa pesan kebangsaan yang cukup kuat. Kehadiran delapan tokoh anak dengan latar belakang budaya berbeda bukan sekadar pemanis, melainkan simbol nyata dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Sayangnya, pesan ini tenggelam karena publik terlanjur fokus pada kelemahan teknis.

Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya: apakah sebuah pesan mulia bisa benar-benar sampai ke hati penonton jika medium penyampaiannya dianggap gagal? Apakah kebhinekaan dan nasionalisme yang coba ditawarkan film ini akan tetap dibaca orang, meski visualnya penuh cacat? Pertanyaan semacam ini penting untuk dibicarakan, karena di sinilah letak tarik-menarik antara idealisme seni dan ekspektasi industri hiburan.

Kita tentu tahu, menonton film bukan hanya soal menikmati cerita, tapi juga soal bagaimana sebuah karya bisa menyentuh rasa. Dalam kasus Merah Putih: One For All, rasa itu bercampur aduk: ada yang kecewa, ada yang marah, tapi ada juga yang mencoba melihat sisi positifnya. Perdebatan ini menarik, karena di satu sisi kritik yang tajam menunjukkan standar publik terhadap film animasi lokal semakin tinggi, sementara di sisi lain, film ini tetap berhasil membangkitkan obrolan nasionalisme di ruang publik.

Melihat realitas itu, tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk melangkah sedikit keluar dari kerumunan kritik. Alih-alih sekadar menyoroti kelemahan teknis, mari kita coba membaca apa sebenarnya yang ingin disampaikan film ini. Ada pesan kebhinekaan yang layak dibicarakan lebih dalam, meskipun terselip di balik lapisan visual yang tidak memuaskan.

Maka, melalui tulisan ini, saya akan membedah dua sisi dari Merah Putih: One For All. Pertama, bagaimana film ini menggambarkan kebersamaan dan persatuan lewat alur ceritanya. Kedua, bagaimana publik merespons dan apakah kritik yang muncul justru memperlihatkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar film animasi biasa. Dengan begitu, kita bisa menemukan makna yang lebih luas: bahwa kebhinekaan Indonesia tidak selalu hadir dalam kemasan yang indah, tapi tetap punya daya untuk dibaca dan direnungkan.

Sinopsis Singkat Film

Film Merah Putih: One For All membawa kita ke sebuah kisah petualangan yang sederhana tapi sarat dengan simbol kebangsaan. Ceritanya berpusat pada delapan anak yang datang dari latar belakang budaya yang berbeda. Mereka bukan hanya sekadar karakter imajiner, melainkan representasi nyata dari wajah Indonesia yang beragam. Dari Papua hingga Betawi, dari Tegal hingga Makassar, dari Jawa Tengah hingga Medan, bahkan dari komunitas Tionghoa hingga Manado, semuanya berkumpul dalam satu tim bernama Tim Merah Putih.

Kehadiran delapan anak ini seakan menjadi miniatur Indonesia dalam bentuk paling sederhana. Mereka punya karakter masing-masing, dengan logat, sifat, dan gaya bicara yang berbeda-beda. Di awal cerita, perbedaan itu justru menjadi tantangan. Tidak mudah menyatukan anak-anak dengan latar budaya yang beragam. Ada ego, ada perbedaan cara pandang, bahkan ada sedikit gesekan yang membuat perjalanan mereka tidak berjalan mulus sejak awal.

Konflik utama dalam film ini muncul ketika bendera pusaka yang akan dikibarkan pada upacara 17 Agustus tiba-tiba hilang. Bendera itu bukan sembarang kain, melainkan simbol paling sakral dari kemerdekaan Indonesia. Tanpa bendera, upacara peringatan kemerdekaan tidak akan bisa berjalan seperti seharusnya. Kehilangan ini membuat delapan anak tersebut terpaksa bersatu untuk memulai pencarian, meski awalnya mereka saling meragukan kemampuan satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun