Hari itu, ponsel saya bergetar lebih sering dari biasanya. Awalnya saya pikir hanya notifikasi grup WhatsApp yang tak ada habisnya. Namun, sebuah pesan dari seorang teman membuat mata saya membesar: "Tulisanmu dimuat di Kompas.com!" Seketika, hati saya berdebar, dan jemari langsung mencari tautan yang dimaksud.
Membaca nama saya terpampang di bawah judul di media sebesar Kompas.com adalah momen yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ada semacam rasa tidak percaya, bercampur hangatnya kebanggaan yang merambat dari dada hingga ujung kepala. Saya tersenyum sendiri, sambil menatap layar ponsel lebih lama dari biasanya.
Bagi seorang penulis pemula, bisa menembus media nasional adalah impian. Rasanya seperti sedang berdiri di panggung besar, di bawah sorot lampu yang menyilaukan, sementara banyak mata menatap. Dan untuk sejenak, dunia terasa sedikit lebih ramah.
Di balik senyum itu, saya teringat proses menulis artikel tersebut. Ada banyak malam yang dihabiskan untuk merangkai kalimat, memeriksa data, dan memastikan setiap argumen punya pijakan yang kokoh. Saya menulis bukan hanya untuk sekadar berpendapat, tapi juga untuk mengajak pembaca berpikir ulang tentang cara penyidikan yang selama ini berlaku.
Namun, di saat euforia mulai menguasai, muncul rasa ragu. Pikiran saya melayang ke arah yang tidak ingin saya pikirkan, yakni: apakah isi tulisan ini akan membuat saya dalam masalah? Apalagi, saya tahu topik ini menyinggung institusi yang sangat besar dan berpengaruh di negeri ini.
Saya mengingat kembali beberapa cerita yang pernah saya baca. Ada penulis yang mengalami intimidasi karena tulisannya dianggap "mengusik". Ada yang bahkan harus berurusan dengan aparat hanya karena menyampaikan pandangan di ruang publik. Bayangan itu pelan-pelan menggerogoti rasa bahagia saya.
Meski begitu, saya mencoba menenangkan diri. Bukankah saya hanya menulis apa yang saya yakini benar, dengan bahasa yang sopan, dan berdasarkan data yang terbuka untuk publik? Tapi tetap saja, di sudut hati, ada perasaan waswas yang tak bisa diabaikan.
Tulisan yang dimuat di Kompas.com itu berjudul sama persis dengan yang saya kirimkan: "Merevisi Paradigma Penyidikan: Dari Mencari Tersangka ke Menguji Dugaan". Isinya membahas bahwa penyidikan seharusnya tidak dimulai dari asumsi siapa pelaku, melainkan dari pengujian dugaan berdasarkan bukti yang objektif. Menurut saya, ini adalah salah satu prinsip keadilan yang harus diperkuat.
Gagasan ini muncul dari kegelisahan pribadi. Saya sering membaca berita tentang orang yang sudah lebih dulu dicap sebagai tersangka, padahal proses pengumpulan bukti masih berlangsung. Seolah-olah sistem kita terburu-buru menetapkan "siapa yang salah" sebelum benar-benar tahu "apa yang sebenarnya terjadi".