Perasaan itu semakin kuat ketika saya melihat jumlah pembaca artikel meningkat dari waktu ke waktu. Ada rasa puas mengetahui bahwa pikiran yang saya tuangkan tidak hanya berhenti di meja editor, tetapi benar-benar mengalir ke khalayak luas.
Dalam hati, saya mulai memikirkan kemungkinan untuk menulis lebih banyak lagi. Kalau tulisan pertama saja bisa dimuat, mungkin saya punya peluang untuk menjadi penulis yang lebih aktif di media nasional.
Saya juga membayangkan bagaimana jika artikel ini diambil sebagai rujukan dalam diskusi-diskusi hukum. Betapa bangganya saya jika ide yang saya sampaikan bisa memicu perdebatan sehat di ruang akademik maupun praktisi.
Namun di sela rasa bahagia itu, ada kesadaran yang samar-samar mulai muncul. Saya menyadari bahwa perhatian yang datang bukan hanya dari orang-orang yang mendukung, tetapi juga dari mereka yang mungkin merasa terganggu.
Awalnya saya mencoba mengabaikan pikiran itu. Saya fokus pada euforia, menikmati momentum, dan membiarkan diri saya larut dalam perayaan kecil-kecilan bersama orang-orang terdekat.
Saya bahkan menyimpan tangkapan layar artikel itu, lengkap dengan logo Kompas.com di bagian atasnya. Entah mengapa, saya merasa itu adalah semacam "sertifikat" pencapaian pribadi.
Beberapa rekan penulis di Kompasiana menghubungi saya, memberi selamat, dan mendorong agar saya terus mengirimkan tulisan ke media besar. Mereka bilang, "Kesempatan seperti ini tidak datang setiap hari. Manfaatkan momen ini untuk membangun nama."
Kata-kata mereka membuat saya semakin percaya diri. Saya mulai menyusun ide-ide baru, membayangkan tema-tema lain yang bisa saya angkat, mungkin dengan sudut pandang yang segar.
Tapi di tengah keinginan itu, saya tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh. Seperti awan tipis yang tiba-tiba menutupi matahari, rasa bahagia itu perlahan disertai kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Saya mulai memikirkan bahwa setiap tulisan memiliki konsekuensi. Dan untuk tulisan saya kali ini, konsekuensinya mungkin tidak sesederhana komentar di media sosial.
Bayangan Rasa WaswasÂ
Rasa waswas itu mulai terasa nyata ketika saya mengingat kembali isi artikel. Meski saya menulisnya dengan bahasa yang sopan, saya sadar bahwa topik yang saya angkat menyinggung salah satu institusi penegak hukum terbesar di negeri ini.