Perilaku belanja orang selalu menarik dibahas. Banyak yang yakin diskon itu magnet utama. Nyatanya, itu cuma satu bagian kecil.
Ada faktor lain yang sama kuat, apalagi di kalangan anak muda. Gen Z, yang lahir antara 1997 sampai 2012, punya selera sendiri. Mereka mencari sesuatu yang lebih dari sekadar harga murah.
Data dan survei menunjukkan polanya jauh lebih rumit. Laporan riset menekankan pentingnya pengalaman di toko. International Council of Shopping Centres (ICSC) juga merilis temuan soal ini.
Belanja online memang makin besar, tetapi banyak konsumen tetap menikmati pergi ke mal. Mereka ingin melihat barang langsung, memegang, lalu mencoba. Alasan-alasan ini mendorong belanja fisik.
Di tengah serbadigital, interaksi nyata memberi rasa berbeda. Survei ICSC menyebut, hampir 97% Gen Z masih berbelanja di toko.
Ada pula dorongan sosial yang kuat. Bagi Gen Z, mal bukan cuma tempat belanja. Ini bagian dari gaya hidup.
Mereka ketemuan dengan teman, makan bareng, menikmati suasana yang ramai. Konser musik ikut memikat. Dekorasi menarik juga. Agenda musiman pun bikin penasaran. Unsur hiburan menjadikan kunjungan terasa kaya pengalaman.
Hasilnya, mereka merasa lebih terhubung. Persepsi tentang mal ikut bergeser, dari pusat belanja menjadi ruang sosial. Daya tariknya pun makin besar.
Angka kunjungan mendukung tren ini. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mencatat lonjakan signifikan, bahkan melampaui masa pra-pandemi.
Kenaikan ini tidak semata karena diskon. Ragam aktivitas dan acara ikut mengangkat kunjungan. Kondisi keuangan konsumen yang membaik di akhir tahun juga memberi ruang belanja lebih besar.
Terlihat dari porsi pendapatan yang bisa dibelanjakan. Kadin Indonesia memproyeksikan perputaran uang Nataru mencapai Rp23,85 triliun, naik dari tahun sebelumnya. Artinya, minat masyarakat memang tinggi.