Sering kali, HRD menggunakan template job description, sedangkan user mengharapkan seseorang yang "multitasking" atau "teknikal" sesuai selera, tanpa pertimbangan tentang sumber daya, timeline pelatihan, dan budaya organisasi yang sedang berkembang.
Kedua, audit metode seleksi. HRD sering menggunakan tes psikometri atau tes kemampuan hard skill standar.Â
Tapi apakah user diberi kesempatan meninjau hasilnya? Apakah tes ini pernah di-validasi secara empiris terhadap performa kandidat setelah direkrut?Â
Bila tidak, HRD akan terus menggunakan tools yang tidak akurat, atau user akan menolak hasil tes karena merasa subyektivitas mereka "lebih paham". Perlu evaluasi data historis, misalnya melihat hubungan skor psikometri dengan performa aktual di tim selama 6--12 bulan.
Ketiga, audit wawancara. Siapa yang hadir? Berapa lamanya? Apakah user aktif mengajukan pertanyaan sesuai tugas di lapangan? Dan apakah HRD memfasilitasi agar user dapat mengukur soft skill kandidat, seperti adaptabilitas dan kolaborasi?Â
Banyak wawancara "formalitas" yang justru menghasilkan "kandidat yang pas di atas kertas, tapi jauh dari ekspektasi lapangan".
Keempat, audit feedback loop dan sistem pelacakan. HRD harus menyiapkan sistem evaluasi pasca-karyawan bergabung, misalnya survei 3 bulan atau exit interview singkat, lalu mencocokkan feedback dengan hasil proses rekrutmen.Â
Apakah kandidat yang nilai awalnya tinggi ternyata tidak sesuai karena valuasi user yang terlalu subjektif? Atau sebaliknya, ada karyawan undervalue yang malah berkembang karena user mempekerjakan berdasarkan hasil percakapan mendalam?
Kelima, kultur komunikasi HRD-user. Apakah ada meeting rutin evaluasi hasil rekrutmen? Apakah user mendapat pelatihan tentang bias wawancara atau praktik terbaik rekrutmen? Apakah HRD diberi pemahaman teknis tugas sehingga bisa lebih akurat menjaring profil?