Namun di banyak organisasi ---terutama UKM atau korporasi konvensional di Indonesia--- kultur tersebut masih jarang. HRD dianggap sebagai pelaksana administratif, sementara rekrutmen dianggap domain user, atau sebaliknya.
Untuk membangun komunikasi setara, dibutuhkan:
Forum Reprotireul rutin, misalnya HRD dan sejumlah user dari tiap divisi mengadakan pertemuan bulanan guna meninjau proses rekrutmen yang sedang berjalan dan membuat refleksi proses terakhirisekeranjang (retrospective).
-
Pelatihan cross-functional, agar user memahami proses HR---dari analisis kebutuhan hingga metrik retensi---dan HRD memahami pekerjaan teknis di lapangan.
Dashboard transparan, memperlihatkan metrik waktu rekrutmen, biaya, retensi, reasons for exit, survei kepuasan user, dll.
Bias workshop, misalnya pelatihan unconscious bias, decision calibration, atau situational judgement. Fasilitasi user agar memperoleh perspektif objektif tambahannya.
Penutup
Audit internal rekrutmen bukan sekadar jargon HR. Ia adalah instrumen refleksi dan peningkatan mutu seleksi.Â
Dengan menempatkan HRD dan user sebagai kolaborator strategis, bukan lawan dalam dialog silent blame, perusahaan justru mampu memetik manfaat jangka panjang: proses rekrutmen lebih efisien dan efektif, retensi karyawan meningkat, kualitas talent lebih baik, serta rasa ownership muncul karena proses rekrut menjadi stakeholder-driven.
Kunci utamanya adalah konsistensi: proses audit dijalankan berkala, hasilnya ditindaklanjuti, dan budaya refleksi dibangun secara bottom-up.Â
Semoga artikel ini memberi inspirasi dan strategi praktis bagi teman-teman HRD, user, manajer, supervisor, atau kolega di perusahaan untuk berani berefleksi, berkolaborasi, serta memajukan standar rekrutmen yang lebih manusiawi, objektif, dan berkualitas.
Â