Aku mengangguk. “Ya, iya lah. Di buku hariannya aja tahun 1988, dan umurnya mungkin sekitar 15 tahun. Sekarang tahun 2024. Berapa tuh? Sekitar 51. Anjir, sama kayak ibuku!”
“Gue jadi pengen ikutan baca, deh,” ujar Gaby.
“Ya, sudah kapan-kapan main ke rumahku saja.”
“Tapi diusir dulu setannya. Takut!”
“Halah! Setannya juga takut sama elo kali!”
“Sialan!” umpat Gaby sambil nyengir.
Tiba-tiba kami sama-samaa terdiam ketika sebuah bola basket menggelinding ke arah kami. Seorang cowok berlari menghampirinya. Dia Bowo, salah satu cowok terganteng di sekolah dan jago main basket. Aku menelan ludah.
“Eh, sori. Kayaknya kalian harus pindah, deh. Aku mau main basket 3 on 3 sama teman-teman. Nanti kalian bisa kena bola,” katanya sopan.
“Oh,” ujar Gaby, dan tanpa menunggu lama lagi dia segera bangkit sambil menggamit lenganku. “Pindah, yuk,” ajaknya.
Hah? Apa? Semudah itu Gaby menyerah. Namun, di luar dugaan aku juga ikut berdiri.
“Sori banget, ya,” kata Bowo sambil menangkupkan kedua telapak tangannya sebagai isyarat minta maaf.