Mohon tunggu...
Miayazlin
Miayazlin Mohon Tunggu... Penulis

Penikmat kopi senja, film, buku, lagu, komedi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

BUKU HARIAN REMAJA GALAU: Lewat Tengah Malam

7 Februari 2025   09:09 Diperbarui: 7 Februari 2025   09:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jendela kamarku (karya:Almayra)

Pernahkah kau merasakan sebuah kesunyian yang mengganggu? Itulah yang kurasakan saat tidur di hari pertama di rumah baruku, di kamar baruku. Aku tidak tinggal di dalam hutan belantara, tetapi keheningan yang tanpa jeda ternyata bisa mengganggu tidurku. Aku terbangun di malam buta. Kamarku gelap, hanya ada penerangan samar-samar dari lampu teras. Sesaat aku mulai percaya bahwa ada makhluk-makhluk dari dimensi lain yang menghuni kamarku. Di rumahku yang lama, aku bisa bangun gara-gara kebelet buang air kecil dan setelah itu kembali tidur, tapi kali ini mataku tetap nyalang meskipun aku sudah berniat kembali tidur.

Mataku melihat buku harian bernama Tisha yang masih tergeletak di meja nakas di samping tempat tidurku. Rasa ingin tahu menggodaku. Kuambil diari itu dan kubaca kembali tulisan-tulisan berikutnya.

Minggu, 28 februari 1988

Sudah seminggu gue nggak masuk sekolah. Sakit batuk. Sekarang saja gue nulis sambil mendengarkan Say You Say Me-nya Lionel Richi. Di luar hujan. Enak banget hujan-hujan sambil mendengarkan radio. Selama nggak masuk, kerjaan gue cuma dengerin radio. Rasanya asyik banget, nggak pernah terpikir soal pelajaran. Jujur, ya, gue sudah jenuh sekolah, Tis. Sayangnya, aku masih SMP. Kalau sudah SMA, rencananya aku kepengin bengong aja, mungkin cari kerja yang enak, ikut kursus. Kalau ada duit, maunya sih, kuliah. Biarpun sama aja belajar lagi, tapi kayaknya kuliah lebih enak daripada sekolah. Rasanya di SMP otakku diperas habis-habisan.

Aku menghela napas. Yang dia rasakan sama dengan yang kurasakan. Waktu itu aku juga merasa jenuh dengan sekolah. Namun, sudah kepalang tanggung. Sekarang, beberapa bulan lagi aku akan lulus kelas 12. Sudah pasti aku akan kuliah, karena aku sudah ikut tes masuk di beberapa perguruan tinggi swasta, meskipun belum tahu hasilnya.

Aku beranjak membuka tirai kamarku. Suasana di luar tampak gelap gulita meskipun samar-samar aku bisa melihat celah di antara pepohonan. Daun-daun pinus bergerak-gerak terembus angin. Tampaknya angin bertiup cukup kencang, bahkan desaunya terdengar sampai menembus jendela kamar.

Waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Astaga! Beberapa jam lagi aku sudah harus bangun lagi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Namun hasratku untuk tidur sudah musnah. Aku terpikir untuk membuka laptop-ku.

Sudah lama aku tidak menulis. Mungkin ini saat yang tepat. Apa aku harus memberi nama untuk laptop-ku seperti Tisha? Entah harus kuberi nama apa. Jadi kutulis ini saja.

Apakah kamu harus kuberi nama? Ada buku harian yang diberi nama Tisha. Tapi itu adalah buku, sedangkan ini laptop, bukan buku. Atau kusebut saja kamu Moni, layar monitor yang biasa menjadi tempatku bercerita. Bagaimana? Cukup keren, kan?!

Bah! Aku terkekeh sendiri. Tulisan macam apa ini? Namun apa yang kau harapkan dari tulisan yang dibuat pada jam 2 pagi, ketika otak masih layu. Aku menguap lebar-lebar. Lalu perhatianku kembali beralih kepada buku harian itu. Aku tergerak untuk meneruskan membaca.

Selasa, 15 Maret 1988

Tadi di sekolah dibagiin tabungan. Lumayan dapat doku 5.000 perak. Habis itu wali kelas gue nyuruh nabung di Tabanas, biarpun diprotes sama temen-temen sekelas. Kasihan guru gue sampe pucet mukanya gara-gara diprotes keras. Temen-temen gue emang bandel. Gue jadi sebel sama kelas gue! Gue jadi pengen ceet-cepet SMA biar meninggalkan kelas ini.


Selasa, 22 Maret 1988

Tis, gue lagi punya hobi baru, nonton video kartun Go Shogun. Mumpung ada video player nganggur di rumah, lebih baik dimanfaatkan. Iya, kan?!


Selasa, 5 April 1988

Tisha, hari ini gue dibagiin Tabanas dan tabungan sama nyokap. Tabungan gue jadi 40.000 plus 2.500 di Tabanas. Rencana gue sih mau beli baju renang, kaos kaki, bretel dan nabung di bank. Eh, akhir-akhir ini gue kok kepengen jajan melulu. Di sekolah jajan asem-asem, di rumah jajan bakso. Bisa gendut, nih!

Wah, ternyata dia juga punya ketakutan tersendiri dengan berat badan. Sama juga dengan isu remaja zaman now, kayak aku. Aku menguap lagi lalu tanpa sadar aku terlelap.

Di sekolah aku mengantuk. Tentu saja. Gaby, sahabat sekaligus teman sebangkuku terus-terusan memperhatikan diriku sejak masuk kelas.

“Dre, lo abis bergadang, ya?”

“Hh?” Aku menoleh ke arah dengan posisi kepala masih terkulai di atas meja.

“Jangan sampai Bu Retno melihat, nanti abis lo diceramahin,” katanya memperingatkan.

Bu Retno adalah guru yang sedang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun saat ini dia sedang menulis catatan di white board di depan kelas, jadi dia tidak melihatku.

Dengan susah payah aku menegakkan badan.

“Abis bergadang ya nonton drakor?” Gaby bertanya lagi.

Aku menggeleng. “Abis baca buku,” jawabku.

Mata Gaby terbelalak.

“Anjay… Hebat banget baca buku sampai bergadang. Buku apaan, sih?”

“Buku harian.”

“Hah?! Buku harian siapa? Taylor Swift?”

“Emang ada?”

“Harusnya ada ya. Eh, tapi ini buku harian siapa?” desak Gaby.

“Nggak tahu! Kayaknya sih pemilik kamarku yang dulu.”

“Oh, iya, lo kan baru pindah rumah, ya? Gimana rumah yang baru? Enak, nggak?” tanya Gaby kepo.

“Yang senang sih ibuku karena dapurnya luas. Yaah, aku juga suka sama kamarku biarpun masih belum terbiasa.”

“Ada setannya, ya?”

“Nggak tahu. Tapi pemandangan dari jendela memang gelap banget.”

“Hiiiy!”

“Sssst! Kalau mau ngobrol di luar saja, ya!” tegur Bu Retno yang sedang menulis di white board, tanpa membalikkan badan.

Aku dan Gaby sontak terdiam dan menunduk.

Saat istirahat di luar kelas, aku dan Gaby duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan basket sambil masing-masing menikmati sekotak dimsum.

“Jadi umur pemilik buku harian itu sekarang sudah tua, ya?” tanya Gaby. Kami masih membahas soal buku harian yang membuatku bergadang.

Aku mengangguk. “Ya, iya lah. Di buku hariannya aja tahun 1988, dan umurnya mungkin sekitar 15 tahun. Sekarang tahun 2024. Berapa tuh? Sekitar 51. Anjir, sama kayak ibuku!”

“Gue jadi pengen ikutan baca, deh,” ujar Gaby.

“Ya, sudah kapan-kapan main ke rumahku saja.”

“Tapi diusir dulu setannya. Takut!”

“Halah! Setannya juga takut sama elo kali!”

“Sialan!” umpat Gaby sambil nyengir.

Tiba-tiba kami sama-samaa terdiam ketika sebuah bola basket menggelinding ke arah kami. Seorang cowok berlari menghampirinya. Dia Bowo, salah satu cowok terganteng di sekolah dan jago main basket. Aku menelan ludah.

“Eh, sori. Kayaknya kalian harus pindah, deh. Aku mau main basket 3 on 3 sama teman-teman. Nanti kalian bisa kena bola,” katanya sopan.

“Oh,” ujar Gaby, dan tanpa menunggu lama lagi dia segera bangkit sambil menggamit lenganku. “Pindah, yuk,” ajaknya.

Hah? Apa? Semudah itu Gaby menyerah. Namun, di luar dugaan aku juga ikut berdiri.

“Sori banget, ya,” kata Bowo sambil menangkupkan kedua telapak tangannya sebagai isyarat minta maaf.

Duh, wajah ganteng ditambah ekspresi memelas memang kombinasi yang maha dahsyat.

“Nggak apa-apa,” kataku sambil tersenyum penuh pengertian.

-bersambung-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun