Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Jamuan Melahap Matahari

11 Maret 2018   21:07 Diperbarui: 15 Maret 2018   01:17 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: artsy.net

Setelah cukup lama saya dan Alka berpikir, akhirnya kami memutuskan untuk hadir dalam acara makan malam tersebut. Saya terbelalak melihat Matahari disajikan tak berdaya di atas meja makan yang bukan main besarnya. Ada ribuan kursi mengelilingi meja itu. Sudah banyak kursi yang diisi. Satu persatu manusia memotong sedikit bagian Matahari dan meletakannya di piring mereka masing-masing.

Mulanya saya mengambil sedikit, niat saya mencicipi saja. Suapan pertama mengejutkan saya. Matahari ternyata rasanya enak! Seperti sup tomyam, pedas dan memikat. Maka saya memutuskan untuk mengambil lebih banyak lagi.

Sejenak saya lupa saya pernah mempelajari betapa panas dan jauhnya Matahari dalam pelajaran ilmu alam dari buku kesukaan Alka. Dahulu saya juga kerap berprasangka Matahari adalah makhluk yang arogan, karena ia selalu jauh di atas sana dan sekali pun enggan menyapa. Hanya sinarnya saja yang mengintip dari jendela kamar saya.

Kini, Matahari bukan hanya kehilangan panasnya, keangkuhannya melebur dalam mulut saya dan ratusan manusia lainnya. Kunyahan demi kunyahan saya dan manusia-manusia lain seolah melenyapkan Matahari perlahan. Biar begitu, pada akhirnya kami terlalu kenyang.

-Adhisti-

Kelihatannya memang mereka kenyang karena terlampau rakus melahap Matahari, namun sesungguhnya mereka dikenyangkan keegoisan mereka sendiri, sehingga Matahari disisakan seperempat bagian. 

Matahari berang dan jadi membenci manusia, lantas memutuskan untuk bersembunyi. Manusia-manusia bodoh lalu pergi meninggalkan bima sakti karena merasa tidak mungkin dapat hidup tanpa eksistensi Matahari.

Saya masih mengingat jelas permintaan maaf kawan saya yang tidak mungkin membawa saya keluar Bima Sakti bersamanya. Lantas, saya ditinggalkan. Semakin meredup suara langkah kaki kawan saya yang menjauh, semakin bergemuruh hati saya merasa kesepian, namun beberapa saat kemudian Ervani menghampiri saya. Rupanya ia juga tidak meninggalkan Bima Sakti.

Ketika matahari sadar bahwa manusia-manusia bodoh sudah tak ada lagi di bumi, bahkan dapat dipastikan kapal mereka meledak di angkasa, Matahari memunculkan dirinya hanya pada hari Kamis, demi tumbuhan-tumbuhan di bumi, yang lebih tahu berterima kasih daripada manusia-manusia bodoh yang sudah pergi itu. Ia tidak lagi datang sebilang hari seperti dulu karena trauma akibat jamuan makan malam itu.

Maka, sejak saat itu Kamis menjelma jadi Hari Perayaan Kemunculan Matahari. Seluruh tanaman yang tersisa di bumi, termasuk bunga matahari, bersorak kegirangan kala hari itu datang. Mereka semua memuja Matahari seumpama ia adalah cinta pertama yang berulang-ulang. Mereka yang sebelumnya merunduk lesu kembali tersenyum.

Pada Hari Perayaan Kemunculan Matahari, semua tanaman menari-nari sambil menyerap sebanyak mungkin energi dari Matahari yang tersisa seperempat bagian tersebut. Mereka tertawa dan bercakap. Mereka juga seringkali mengajak Matahari bersenda gurau. Meski kadang menanggapi, namun Matahari lebih banyak diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun