Mohon tunggu...
Lita Widyawati
Lita Widyawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra

K-Pop and Books enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resensi Novel Perempuan di Titik Nol: Sebuah Manifestasi Budaya Patriarki di Mesir

28 Agustus 2021   23:06 Diperbarui: 28 Agustus 2021   23:12 3774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak." (Nawal El Saadawi 2002, h. 133)

Kemudian tibalah seorang pelanggan yang menyukai dirinya hingga mengajaknya menikah, tentu wanita itu melarangnya karena Firdaus adalah mesin uang baginya. Jika Firdaus tidak ada, bagaimana bisnisnya akan berjalan nanti? Hingga sang pria itu dengan wanita bertengkar, Firdaus lebih memilih kabur dari sana.

Di jalan, ia diajak oleh seorang pebisnis kaya. Firdaus kini mengerti cara bagaimana mendapatkan uang. Ia akan menawarkan uang untuk 'harga dirinya' yang memang pantas dibayarkan. Pebisnis itu setuju dan begitulah kehidupan Firdaus-sang pelacur kelas atas dimulai. Ia mulai mematok harga tinggi. Membeli apartemen mewah, baju bagus, dan perawatan tubuh agar lebih cantik. Para pelanggannya ialah saudagar kaya, para pemimpin, bahkan seorang pemimpin negara. 

Di kehidupannya sebagai pelacur kelas atas, Firdaus merasa dunianya yang iapijaki kini salah. Akhirnya ia berhenti menjadi pelacur dan mulai bekerja di kantor biasa. Dan di sanalah ia bertemu dengan cintanya-teman sekantor. Dan lagi-lagi budaya patriarki itu seakan mengakar kuat di hidupnya. Sang laki-laki yang iasukai hanya ingin menjelajahi tubuhnya saja, tidak dengan hatinya. Mulutnya yang kasar dan mulai menyakiti hati Firdaus. Firdaus bergerak melindungi diri ketika pria itu bermain tangan dan mulai memukulinya. Diambilnya pisau dan ditusuknya perut pria itu berkali-kali.

Firdaus menyesal? Tentu tidak. Justru ia lega sekali karena bisa membela dirinya untuk yang terakhir kalinya melawan patriarki. Karena setelah itu ia ditangkap dan langsung dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Mesir.

Pelecehan, pemerkosaan, dan hal lain yang melanggar HAM sangat menyakiti hati Nawal. Namun, di balik kehidupan yang menyakitkan itu, melahirkan sosok Firdaus yang pemberani, tidak mudah takut, dan cerdas. Firdaus berani menjalani hukumannya yang bukan salahnya.

Buku ini sangat membuka mata saya terhadap budaya suatu negara yang sudah mengakar kuat hingga saat ini. Bahwa ada pula perempuan seperti Firdaus yang malang dan penuh penderitaan. Budaya patriarki masih sangat mengikat di kehidupan masyarakat kita. Dan bagi kalian yang juga ingin mencari pandangan baru mengenai patriarki, saya rekomendasikan masterpiece ini untuk direnungi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun