Mohon tunggu...
Winda Dwi
Winda Dwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Riuh dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perspektif: Eksistensi Perempuan dalam Genggaman Logika Patriarki

22 Maret 2024   10:46 Diperbarui: 23 Maret 2024   11:08 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Gak usah sekolah tinggi-tinggi, anak perempuan nanti ujung-ujungnya juga di dapur."
"Karier bagus tapi nggak bisa urus rumah juga percuma." 

Kalimat yang masih sering terdengar di berbagai tatanan masyarakat Indonesia. Menunjukkan bagaimana perspektif mereka terhadap seorang perempuan. Termarginalkan, terpinggirkan? Ya, kurang lebih demikian.

Budaya patriarki memang masih melekat di kalangan masyarakat Indonesia. Sulit agaknya untuk bangsa ini terlepas dari belenggu patriarki mengingat budaya ini tersosialisasikan dari generasi ke generasi secara turun-temurun hingga akhirnya melekat dan membudaya di berbagai lini kehidupan masyarakat. Budaya patriarki itu sendiri mengacu pada budaya yang cenderung menempatkan laki-laki di atas perempuan berdasarkan struktur sosial. Laki-laki dianggap sebagai pemeran utama yang sentral, sedangkan perempuan berada di kelas dua yang ditempatkan secara subordinat. Dalam hal ini, perempuan digeneralisasi sebagai seorang yang identik dengan pekerjaan domestik (pekerjaan rumah tangga), tidak perlu pendidikan tinggi, dan berbagai narasi berkonteks negatif lainnya.


Lantas, bagaimana pengaruh budaya patriarki terhadap kehidupan sehari-hari khususnya bagi perempuan? 

Di berbagai aspek dan bidang kehidupan, budaya ini membuat perempuan rentan tidak mendapatkan hak-haknya secara penuh. Hak untuk merasa aman, hak untuk bekerja di bidang yang sama dengan laki-laki, hak untuk dilibatkan, dll. Selain itu, budaya patriarki juga kerap kali menjadi salah satu sebab timbulnya berbagai tindakan diskriminatif, ketidakadilan, dan kekerasan baik kekerasan fisik maupun verbal bagi perempuan dan anak-anak.

Dari catatan Sistem Informasi Online Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) data yang diinput pada tanggal 1 Januari 2024 hingga saat ini tercatat sebanyak 4.314 kasus kekerasan dan 3.777 diantaranya merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari hal tersebut dapat dilihat bagaimana seorang perempuan lebih rentan menjadi objek tindak kekerasan dibandingkan laki-laki. Semua ini tentu tak lepas dari adanya logika patriarki yang masih saja terinternalisasi di kehidupan masyarakat. Jika hal tersebut terus dibiarkan tentu eksistensi perempuan akan semakin terdegradasi dan perempuan tidak akan mendapatkan ruang setara dengan laki-laki.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah seharusnya mampu mengupayakan cara untuk memitigasiya. Salah satunya yaitu dengan membuat kebijakan-kebijakan yang ranahnya pada representasi perempuan. Tidak hanya pada bidang politik pemerintahan, tetapi juga di berbagai aspek lain, misalnya, pendidikan, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Ketika hal ini diterapkan, maka proyeksi kebijakan akan lebih memperhatikan kebutuhan mendasar perempuan sehingga akan banyak ruang 'khusus' yang disediakan untuk perempuan dalam mengekspresikan eksistensi dirinya tanpa rasa khawatir. 

Ini bukan semata terkait privilege, bukan pula sebuah keistimewaan bagi kaum feminis. Namun, kebijakan-kebijakan ini seharusnya dibuat sebagai penutup kesenjangan antara keduanya. Ini merupakan bantuan bagi mereka yang rentan dan terpinggirkan. Tujuannya adalah untuk memberdayakan, bukan untuk menciptakan perpecahan, untuk saling membenci, atau memecah belah antarumat manusia. Ini merupakan salah satu upaya, upaya untuk menyetarakan. 

Jadi, tidak ada yang lebih baik atau buruk di sini. Tidak juga ada yang lebih tinggi atau rendah kedudukannya. Keduanya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, tentu bukan sembarang seimbang, melainkan seimbang yang konteksnya kemudian disesuaikan dengan proporsi dan porsinya masing-masing.

Salam toleransi. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun