Mohon tunggu...
Lita Widyawati
Lita Widyawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra

K-Pop and Books enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resensi Novel Perempuan di Titik Nol: Sebuah Manifestasi Budaya Patriarki di Mesir

28 Agustus 2021   23:06 Diperbarui: 28 Agustus 2021   23:12 3774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: ebooks.gramedia.dom

Sastra - Banyak kutipan bijak yang wara-wiri di internet berkata bahwa buku merupakan jendela dunia-adalah benar adanya. Dari sebuah buku kita bisa melihat keadaan suatu masyarakat yang berada beribu kilometer jauhnya dari negara kita. 

Melalui perspektif kaca mata seorang penulis, kita jadi tahu bagaimana rasanya hidup sebagai sang tokoh utama dalam sebuah cerita. 

Termasuk kita dapat menjadi sosok Firdaus-sang pemeran utama dalam buku Perempuan di Titik Nol yang diceritakannya kepada sang penulis, Nawal El Saadawi di balik jeruji besi. 

Novel ini terbit pada tahun 2002 di Mesir yang ditulis oleh seorang doktor yang bergetar hatinya ketika mendengar sang empu cerita, Firdaus yang telah mengalami banyak hal semasa hidupnya. Menodai jiwa Nawal, mempermalukannya hingga ke dalam hati, bahwa tidak ada hidup yang iakagumi lebih dari kagumnya pada Firdaus.

Untuk para pembaca, saya memberi warning karena resensi ini akan mengandung spoiler. Dan mengandung Trigger Warning: pelecehan, pemerkosaan, dan lainnya.

Firdaus merupakan satu dari sekian banyak wanita Mesir yang harga dirinya dianggap seperti sampah oleh kaum pria. Novel ini sangat membantu untuk membuka mata saya bahwa budaya patriarki khususnya di negeri Arab pada zaman dahulu merupakan hal yang lumrah terjadi. 

Dan saya percaya begitu Firdaus memanggil nama Nawal-sang penulis, untuk bersedia diceritakan semasa hidupnya, tepat beberapa jam sebelum hukuman mati iajalani. 

Firdaus lahir dari keluarga miskin. Ayahnya diperlakukan bak raja oleh ibu dan kemudian oleh Firdaus sendiri karena dituntut untuk melakukan itu. Tidak sekalipun ia diberi uang untuk jajan oleh ayahnya. 

Ketika musim dingin tiba, ayahnya mengambil tempatnya di dekat perapian untuk menghangatkan diri, sedangkan ia dibiarkan tidur di alas dingin. Ibunya yang penurut dan manut, selalu menaati perintah suaminya. Masa kecilnya habis bermain di ladang bersama teman laki-lakinya. Dan di situlah awal dari semuanya terjadi. 

Setiap kali bertemu di ladang, mereka melakukan hubungan suami-istri dengan dalih bermain rumah tangga, atas perintah temannya itu. Firdaus kecil yang lugu dan bodoh tentu menurut saja. 

Kemudian pamannya yang tengah belajar di Kairo, Mesir, sering datang untuk membantunya belajar. Dan lagi-lagi, pamannya sendiri melecehkannya. 

Semakin lama, Firdaus ingin sekali belajar di kairo, seperti pamannya. Namun, sang paman bilang itu tidak mungkin karena Firdaus adalah seorang perempuan.

Dalam budaya patriarki, perempuan dianggap sebagai nomor dua dan sifatnya yang tidak dominan. Sehingga ketika dilecehkan Firdaus tidak mengerti dan menganggap hal tersebut biasa. 

Sedangkan sang paman sendiri, meskipun seorang terpelajar, namun sifat dominan yang muncul dalam dirinya, tak pernah menganggap Firdaus seseorang yang setara.

Kemudian Firdaus diajak pamannya untuk sekolah di Kairo setelah pertimbangan beberapa hal. Ia bersekolah dan lulus dengan nilai tertinggi. Setelah itu pamannya telah memiliki keluarga dan memutuskan menjodohkan Firdaus dengan seorang pria kaya raya berusia 60-an. 

Di mana ketika itu Firdaus masih berumur belasan tahun, baru saja lulus sekolah menengah atas. Lagi-lagi, ia diperlakukan seperti barang yang diperjual-belikan. 

Ketika menjadi seorang istri pun, ia diperlakukan seperti pelayan dan hewan yang hidup hanya untuk membersihkan rumah, memasak, dan untuk melayani nafsu suaminya. 

Firdaus tak tahan. Akhirnya ia memilih kabur dari rumah. Ketika luntang-lantung di jalan, beberapa kali ia dibantu oleh beberapa pria, namun akhirnya mereka hanya memanfaatkan tubuh indahnya untuk digunakan. Setelah itu Firdaus kembali luntang-lantung tak memiliki tempat untuk pulang. 

Kehidupan ia berubah setelah bertemu dengan seorang wanita. Wanita tersebut yang mengubah dirinya. Firdaus diminta untuk tinggal di apartemennya dan berbaring di kasur. 

Hingga akhirnya yang perlu ialakukan ialah melayani para pria yang sudah memesan kepada wanita itu untuk disetubuhi. Dengan dalih, wanita itu ingin membantu Firdaus mencari uang dengan cepat dan banyak. 

Firdaus pasrah saja, toh sejak kecil iasudah dilabeli pelacur oleh ayahnya sendiri. Tak ada bedanya dengan dulu ketika di ladang, ketika dengan pamannya, dan ketika dengan si suaminya yang katanya sudah meninggal itu. 

"Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak." (Nawal El Saadawi 2002, h. 133)

Kemudian tibalah seorang pelanggan yang menyukai dirinya hingga mengajaknya menikah, tentu wanita itu melarangnya karena Firdaus adalah mesin uang baginya. Jika Firdaus tidak ada, bagaimana bisnisnya akan berjalan nanti? Hingga sang pria itu dengan wanita bertengkar, Firdaus lebih memilih kabur dari sana.

Di jalan, ia diajak oleh seorang pebisnis kaya. Firdaus kini mengerti cara bagaimana mendapatkan uang. Ia akan menawarkan uang untuk 'harga dirinya' yang memang pantas dibayarkan. Pebisnis itu setuju dan begitulah kehidupan Firdaus-sang pelacur kelas atas dimulai. Ia mulai mematok harga tinggi. Membeli apartemen mewah, baju bagus, dan perawatan tubuh agar lebih cantik. Para pelanggannya ialah saudagar kaya, para pemimpin, bahkan seorang pemimpin negara. 

Di kehidupannya sebagai pelacur kelas atas, Firdaus merasa dunianya yang iapijaki kini salah. Akhirnya ia berhenti menjadi pelacur dan mulai bekerja di kantor biasa. Dan di sanalah ia bertemu dengan cintanya-teman sekantor. Dan lagi-lagi budaya patriarki itu seakan mengakar kuat di hidupnya. Sang laki-laki yang iasukai hanya ingin menjelajahi tubuhnya saja, tidak dengan hatinya. Mulutnya yang kasar dan mulai menyakiti hati Firdaus. Firdaus bergerak melindungi diri ketika pria itu bermain tangan dan mulai memukulinya. Diambilnya pisau dan ditusuknya perut pria itu berkali-kali.

Firdaus menyesal? Tentu tidak. Justru ia lega sekali karena bisa membela dirinya untuk yang terakhir kalinya melawan patriarki. Karena setelah itu ia ditangkap dan langsung dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Mesir.

Pelecehan, pemerkosaan, dan hal lain yang melanggar HAM sangat menyakiti hati Nawal. Namun, di balik kehidupan yang menyakitkan itu, melahirkan sosok Firdaus yang pemberani, tidak mudah takut, dan cerdas. Firdaus berani menjalani hukumannya yang bukan salahnya.

Buku ini sangat membuka mata saya terhadap budaya suatu negara yang sudah mengakar kuat hingga saat ini. Bahwa ada pula perempuan seperti Firdaus yang malang dan penuh penderitaan. Budaya patriarki masih sangat mengikat di kehidupan masyarakat kita. Dan bagi kalian yang juga ingin mencari pandangan baru mengenai patriarki, saya rekomendasikan masterpiece ini untuk direnungi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun