Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi

Lecturer ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Kebaya Ibu

21 April 2016   12:45 Diperbarui: 21 April 2020   06:46 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | keepo.me



 “Anak-anak, sebentar lagi kita akan memperingati Hari Kartini. Seperti biasa, sekolah kita akan turut merayakannya dengan berbagai kegiatan. Silakan pada hari kartini kalian boleh mengenakan pakaian adat yang kalian suka. Ada juga beberapa lomba yang akan diadakan di sekolah. Jadi kalian tak boleh melewatkannya.” jelas Kepala sekolah sebelum mengakhiri pidato singkatnya saat upacara berlangsung.

“Horeeeee!!!" teman-temanku yang lain tampak kegirangan.

Aku tetap bergeming.

***

Selesai upacara, teman-teman mulai sibuk membicarakan persiapan Kartini-an. Tentang pakaian yang mereka ingin kenakan dan juga riasaan. Ya, topik pembicaraan ini akan berlangsung sampai seminggu ke depan dan aku tak boleh kelihatan bosan.

“Eh Nina, kamu mau pakai baju adat apa?” tiba-tiba Sita mengagetkan lamunanku.

“Apa ya. Belum tau, Kamu pakai apa? Pasti kamu cantik banget.”

“Belum tau juga mau pakai apa. Nanti aku mau bilang mama biar mama yang milihin di salon.”

“Berapa sih nyewa baju sama dandan di salon?”

“Aku lihat mama waktu itu ngasih uang seratus ribuan dua lembar.”

“Oh” jawabku singkat.

***

Di Hari Kartini tahun ini, aku ingin seperti mereka, yang mengenakan baju kebaya juga sanggul di kepala. Meski terlihat seperti orang dewasa  dengan gincu, pemerah pipi dan alis palsu, teman-temanku jadi cantik dan aku ingin menjadi seperti mereka.

Tetapi aku tahu diri, Ibuku hanya seorang penjahit. Penjahit yang tidak tiap hari mendapatkan pesanan. Meminta dua ratus ribu untuk menyewa baju, mana mungkin ada. Kalau pun ada, hutang ibu pasti makin bertambah.  Meminta uang pada Ibu hanya menambah bebannya. Aku harus mencari cara lain.

Untunglah, Pak Tomo –penjaga kantin sekolah- mau membantuku. Dalam seminggu ini, aku boleh bekerja disana di sela-sela istirahat sekolah. Sepuluh ribu rupiah , upah sehari yang akan kudapat. Lumayan.

Sebenarnya, Pak Tomo tak butuh orang untuk membantu di kantinya. Tetapi karena aku mengatakan keinginanku untuk menyewa kebaya , ia bermurah hati padaku. Sebaliknya, aku tak pernah katakan keinginanku ini pada Ibu.

Lima hari aku membantu Pak Tomo, lima puluh ribu aku dapatkan. Uang di kaleng yang kujadikan tabungan ada sembilan puluh ribu. Total seratus empat puluh ribu. Kebaya keinginanku sudah terbayang-bayang.

***

Tak biasanya, Bu Santi-Wali kelasku- menitipkan surat padaku. Surat untuk Ibu. Entah apa. Aku berikan surat itu pada Ibu. Namun, ibu tak segera membukanya. Entah mengapa.

***

Besok, hari Kartini. Keinginan tampil cantik dengan kebaya akan segera terwujud. Aku akan sama dengan teman-temanku. Tidak lagi ada alasan sakit seperti tahun lalu, ataupun diam-diam membolos seperti tahun sebelumnya lagi. Aku akan ke sekolah, berkebaya dengan riasaan ayu.

Aku mencari Ibu untuk mengabarkan keinginanku yang ku sembunyikan selama seminggu ini. Akan tetapi aku tak menemukannya. Ibu mungkin mengantarkan pesanan dan yang ku temukan malah yang lainnya. Selembar kertas dari sekolah yang kuberikan kemarin.

***

Hari yang ku tunggu.  Tetapi aku memilih tak ingin bersekolah saja. Aku harus berpura-pura..

“Nak..kok belum siap-siap? Sekolahkan?” Ibu mendekati kasurku.

“Tidak bu, aku sakit.”

“Mana Ibu coba cek.”, Ibu makin mendekat dan mencoba memegang keningku beberapa saat.

“Nggak..nggak... panas kok.”

“Buuuu...” aku bangkit dari tidurku.

“Kenapa sih Ibu gak pernah bilang kalau uang sekolah selama dua bulan ini Ibu belum bayar." lanjutku.

“Kata siapa?”

“Ibu gak usah nutupin dari aku deh. Aku udah tau, dari Bu Santi.”

“Bu Santi bilang padamu?”

“Dari surat yang kemarin aku kasih ke Ibu. Surat peringatan.”

Ibu terdiam beberapa saat. Aku mencari sesuatu di bawah bantal.

“Bu, cuma ini yang aku punya sekarang”

“Uang ini dari siapa?” Ibu nampak kaget.

“Itu uang dari tabunganku Bu dan juga ada dari hasil kerjaku bantu Pak Tomo di Kantin. Sebenarnya kemarin aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa aku akan menyewa baju untuk Kartini-an hari ini. Dan uang itu adalah uang yang akan aku gunakan untuk menyewa.”

Ibu tiba-tiba memelukku,makin erat.

“Maafkan Ibu, Nak.”

Aku merasakan ada yang jatuh dari mata ibu, air.

“Maaf buat apa Bu? Aku bahagia banget  punya Ibu,  apalagi kaya sekarang dipelukan Ibu”

Ibu masih memelukku.

“Jadi, apa alasan kamu gak sekolah hari ini?” Ibu melepas pelukannya dan menatapku.

Giliran aku yang menjadi diam dan kali ini ibu yang kubiarkan dalam-dalam mencari penjelasan di mataku.

“Aku gak punya kebaya, Bu.”

“Ohh, jadi anak Ibu ngga mau bersekolah hanya karena gak berkebaya?" Ibu tiba-tiba bangkit dan menjauh dariku. Sedang aku siap untuk menerima marah darinya.

“Maaf , Bu. Kali ini aja ya Bu aku boleh bolos. Aku ngga papa kok kalau uang sewa baju itu buat bayar sekolah Nina.”

“Nak...berangkatlah ke sekolah.” Ibu tiba-tiba membuka lemari pakaianku dan mengambil sesuatu.

“Ini...Ibu sudah siapkan untukmu.”

Kebaya motif  jumputan solo, warna merah terang . Cantik.

Entah bagaimana kebaya itu bisa tiba-tiba ada di lemariku.

“Ini kebaya memang tidak baru. Pernah Ibu pakai dulu. Hadiah dari Bapakmu. Sekarang, kebaya ini  pasti sudah muat dengan ukuranmu.”

Aku masih diam dan menatap Ibu juga baju kebaya itu.

“Pergilah mandi dan tetap sekolah. Karena Ibu akan membuatmu bak cinderella yang punya Ibu peri.” tambah Ibu mencoba menyenangkanku.

“Ingat ya, anak perempuan Ibu harus punya pendidikan yang cemerlang. Jangan seperti Ibumu yang sekarang  ini cuma kerja serabutan . Anak Ibu harus lebih dari pada Ibu. Ibu kerja keras untuk menyekolahkanmu agar kamu pandai dan memiliki masa depan yang cerah.” Ibu mencium keningku, ada harapan dan semangat yang juga Ibu sematkan lewat bibirnya.

Yah...

Aku sadar. Bahwa memperingati Hari Kartini, bukan dilihat dari seberapa indah kebaya atau secantik apa riasaan wajahku. Tetapi lebih dari itu. Kecedasaan, pemikiran dan pemahaman yang Ibu Kartini ajarkan pada generasi berikutnya, padaku.

Aku akan selalu ingat dengan apa kata Ibuku bilang,

“Anak perempuan juga harus punya pendidikan, karena kelak dia akan menjadi "guru"  untuk anak-anaknya.”

Oops, hampir saja  hanya karena kebaya dan riasan , membuatku tak bersekolah. Membuat Ibu Kartini disana, bersedih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun