“Oh” jawabku singkat.
***
Di Hari Kartini tahun ini, aku ingin seperti mereka, yang mengenakan baju kebaya juga sanggul di kepala. Meski terlihat seperti orang dewasa dengan gincu, pemerah pipi dan alis palsu, teman-temanku jadi cantik dan aku ingin menjadi seperti mereka.
Tetapi aku tahu diri, Ibuku hanya seorang penjahit. Penjahit yang tidak tiap hari mendapatkan pesanan. Meminta dua ratus ribu untuk menyewa baju, mana mungkin ada. Kalau pun ada, hutang ibu pasti makin bertambah. Meminta uang pada Ibu hanya menambah bebannya. Aku harus mencari cara lain.
Untunglah, Pak Tomo –penjaga kantin sekolah- mau membantuku. Dalam seminggu ini, aku boleh bekerja disana di sela-sela istirahat sekolah. Sepuluh ribu rupiah , upah sehari yang akan kudapat. Lumayan.
Sebenarnya, Pak Tomo tak butuh orang untuk membantu di kantinya. Tetapi karena aku mengatakan keinginanku untuk menyewa kebaya , ia bermurah hati padaku. Sebaliknya, aku tak pernah katakan keinginanku ini pada Ibu.
Lima hari aku membantu Pak Tomo, lima puluh ribu aku dapatkan. Uang di kaleng yang kujadikan tabungan ada sembilan puluh ribu. Total seratus empat puluh ribu. Kebaya keinginanku sudah terbayang-bayang.
***
Tak biasanya, Bu Santi-Wali kelasku- menitipkan surat padaku. Surat untuk Ibu. Entah apa. Aku berikan surat itu pada Ibu. Namun, ibu tak segera membukanya. Entah mengapa.
***
Besok, hari Kartini. Keinginan tampil cantik dengan kebaya akan segera terwujud. Aku akan sama dengan teman-temanku. Tidak lagi ada alasan sakit seperti tahun lalu, ataupun diam-diam membolos seperti tahun sebelumnya lagi. Aku akan ke sekolah, berkebaya dengan riasaan ayu.