Mohon tunggu...
Tessalonika
Tessalonika Mohon Tunggu... Writer

Aku tuh introvert, jadi kadang susah banget buat nyuarain pendapat. Ujung-ujungnya ketelen sendiri, numpuk di kepala. Tapi akhirnya aku nemuin cara paling nyaman buat ekspresiin diri - nulis. Serius, nulis itu udah jadi bagian dari hidup aku. Selain itu, aku juga suka banget baca buku. Kalau lagi capek atau butuh healing, pasti langsung nyari novel, buku motivasi, atau Christian’s book buat nenangin diri. Terus, satu lagi yang nggak bisa lepas dari aku - fashion! Buat aku, fashion itu bukan cuma tentang style, tapi juga cara buat nunjukin siapa diri aku. So yeah, this is me. 📚👗✨

Selanjutnya

Tutup

Politik

Target Ekonomi 8% di 2029: Mimpi Besar atau Omong Kosong?

6 Maret 2025   12:02 Diperbarui: 6 Maret 2025   12:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto resmi Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, Minggu (20/10/2024) Foto: (Dok. Istimewa)

Mau Ngebut, Tapi Bisa Nggak?

Ekonomi Indonesia mau dipacu sampai 8% di 2029? Gila, sih! Sejak 2015 aja, nembus 6% susahnya minta ampun. Tapi Prabowo pede bisa ngegas lebih kencang. Ini beneran realistis atau cuma angka buat bikin kita optimis?

Realistis atau Cuma Skenario di Atas Kertas? Yuk, Lihat Datanya!

Pemerintah udah nyusun skenario pertumbuhan ekonomi yang kelihatannya mulus: naik bertahap dari 5,3% di 2025, terus merangkak ke 6,3% di 2026, makin ngebut ke 7,5% di 2027, sampai akhirnya tembus 8% di 2029. Kalau semua berjalan sesuai rencana, Indonesia bisa naik kelas dengan GNI per kapita tembus US$8.000.

Tapi, ini masih sebatas skenario, alias rencana optimistis yang belum tentu kejadian di dunia nyata. Kenyataannya? Sejak 2015 aja, ekonomi Indonesia kesulitan nembus 6%. Menurut teori Paul Krugman (1994), pertumbuhan tinggi nggak bisa cuma mengandalkan nambah tenaga kerja atau investasi tradisional. Harus ada lompatan produktivitas besar! Kalau kita masih pakai pola lama, konsumsi domestik dan investasi yang itu-itu aja---ya, siap-siap aja angka 8% ini cuma jadi mimpi di atas kertas.

Bisa Tembus 8%? Lihat Dulu Contoh Negara Lain!

Beberapa negara pernah sukses ngebut dengan angka pertumbuhan yang tinggi. Contohnya, Vietnam! Mereka sukses menarik investasi asing gede-gedean lewat reformasi industrinya. Kebijakan insentif pajak, pembangunan kawasan industri, dan aturan main yang jelas bikin banyak perusahaan global boyongan ke sana. Hasilnya? Ekonomi Vietnam tumbuh 7,09% pada 2024, didukung ekspor kuat dan investasi asing yang tinggi (Reuters, "Vietnam's economy grows 7.09% in 2024 amid strong exports and FDI inflows," 2025).

Tapi Vietnam bisa begitu karena mereka agresif narik investasi, reformasi besar-besaran, dan regulasi yang jelas. Mereka punya insentif pajak dan kawasan industri yang bikin investor betah (Vietnam Briefing,Vietnam's Economic Zones: A Practical Guide for Investors," 2024). Indonesia? Masih jungkir balik ngurus izin investasi dan tarik ulur regulasi. Bisa nggak kita ngikutin jejak mereka? Bisa aja, asal nggak cuma diomongin doang!

Strategi Pemerintah: Mimpi Butuh Eksekusi, Bukan Cuma Wacana

Pemerintah udah nyiapin strategi gede, mulai dari industrialisasi, ekonomi hijau, sampai digitalisasi. Sektor produktif kayak pertanian, perikanan, manufaktur, dan ekonomi digital diharapkan jadi mesin pertumbuhan baru.

Tapi inget kata Joseph Stiglitz (2012), pertumbuhan yang bagus itu harus inklusif, alias semua orang merasakan manfaatnya. Kalau cuma fokus ngejar angka tapi ketimpangan makin melebar? Bisa jadi bumerang!

Dampak ke Rakyat: Berkah atau Malapetaka?

Oke, anggap aja target pertumbuhan ekonomi 8% ini kejadian. Kabar baik, kan? Tapi jangan keburu senang dulu---karena kalau nggak dikelola dengan baik, yang ada bukan berkah, tapi malah jadi beban. Nah, gimana dampaknya buat kita-kita?

Upah Naik, Tapi Inflasi Ikut Sprint?

Gaji naik itu enak. Tapi kalau harga barang larinya lebih kencang, ya tetap aja dompet berasa diet ketat. Menurut Phillips Curve (1958), ekonomi naik, upah naik, pengangguran turun---tapi inflasi ikut naik. Logikanya simpel: makin banyak duit di tangan orang, makin banyak belanja, harga pun naik. Belum lagi efek Cost-Push Inflation dari Keynesian Economics (1936) kalau upah naik, perusahaan juga bakal naikin harga barang. Jadi, upah naik tapi daya beli nggak nambah?

Lapangan Kerja Baru? Siap-Siap Kalah Saing!

Sektor digital dan manufaktur katanya jadi ladang kerja masa depan. Tapi pertanyaannya, siap nggak? Kalau skill cuma mentok di "bisa Microsoft Word", ya maaf, AI aja udah lebih jago. Menurut Human Capital Theory (1961) oleh Theodore Schultz , yang investasi di pendidikan & skill bakal lebih cuan. Sementara teori Creative Destruction (1942) oleh Joseph Schumpeter  bilang teknologi bakal ngilangin pekerjaan lama dan bikin yang baru. Artinya? Kalau nggak upgrade skill, bisa-bisa kalah saing sama tenaga kerja asing. Ujung-ujungnya? Ngeluh tapi nggak ngapa-ngapain. 

UMKM: Ikut Untung atau Tenggelam?

Ekonomi naik, UMKM harusnya ikut happy. Tapi kalau modal seret, teknologi ketinggalan, dan persaingan makin brutal? Bisa-bisa malah ambyar. Kata Michael Porter dalam teori Competitive Advantage (1985) , biar UMKM bisa bersaing, harus punya keunggulan---entah dari harga, kualitas, atau branding. Tapi kalau modal aja susah didapat (Thanks, teori Access to Finance dari Demirg-Kunt & Levine, 2008 ), ya gimana mau berkembang? Jangan sampai UMKM jadi sekadar penonton di negaranya sendiri!

Jadi, pertumbuhan ekonomi itu bukan sekadar angka. Kalau kebijakan nggak mendukung tenaga kerja lokal dan UMKM, ya siap-siap aja yang kaya makin kaya, yang susah makin megap-megap. Mau jadi bagian yang mana? 

Tantangan: Birokrasi Ribet, Investasi Lambat

Investasi di 2024 memang naik jadi Rp1.714,2 triliun (plus 20,8% dari tahun sebelumnya). Tapi pertanyaannya, cukup nggak? Salah satu musuh terbesar pertumbuhan ekonomi kita adalah birokrasi yang ribet plus regulasi yang nggak konsisten. Kata Daron Acemoglu (2012), institusi yang lemah itu kayak beban di kaki, bikin lari jadi lambat. Kalau ini nggak diberesin, pertumbuhan 8% cuma bakal jadi mimpi yang nggak kejadian.

Jadi, Bisa Nggak?

Angka 8% bisa aja kejadian, tapi tanpa gebrakan nyata, ini cuma sekadar angka di PowerPoint pejabat. Ha-Joon Chang (2002) pernah bilang, pertumbuhan ekonomi bukan cuma soal angka keren di laporan, tapi gimana caranya angka itu bikin hidup masyarakat lebih baik.

Jadi, kita bakal ngegas atau malah ngehalu? Kamu sendiri percaya nggak? Drop pendapat kamu di kolom komentar, siapa tahu kita bisa ngebahas ini lebih dalem!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun