Ekonomi naik, UMKM harusnya ikut happy. Tapi kalau modal seret, teknologi ketinggalan, dan persaingan makin brutal? Bisa-bisa malah ambyar. Kata Michael Porter dalam teori Competitive Advantage (1985) , biar UMKM bisa bersaing, harus punya keunggulan---entah dari harga, kualitas, atau branding. Tapi kalau modal aja susah didapat (Thanks, teori Access to Finance dari Demirg-Kunt & Levine, 2008 ), ya gimana mau berkembang? Jangan sampai UMKM jadi sekadar penonton di negaranya sendiri!
Jadi, pertumbuhan ekonomi itu bukan sekadar angka. Kalau kebijakan nggak mendukung tenaga kerja lokal dan UMKM, ya siap-siap aja yang kaya makin kaya, yang susah makin megap-megap. Mau jadi bagian yang mana?Â
Tantangan: Birokrasi Ribet, Investasi Lambat
Investasi di 2024 memang naik jadi Rp1.714,2 triliun (plus 20,8% dari tahun sebelumnya). Tapi pertanyaannya, cukup nggak? Salah satu musuh terbesar pertumbuhan ekonomi kita adalah birokrasi yang ribet plus regulasi yang nggak konsisten. Kata Daron Acemoglu (2012), institusi yang lemah itu kayak beban di kaki, bikin lari jadi lambat. Kalau ini nggak diberesin, pertumbuhan 8% cuma bakal jadi mimpi yang nggak kejadian.
Jadi, Bisa Nggak?
Angka 8% bisa aja kejadian, tapi tanpa gebrakan nyata, ini cuma sekadar angka di PowerPoint pejabat. Ha-Joon Chang (2002) pernah bilang, pertumbuhan ekonomi bukan cuma soal angka keren di laporan, tapi gimana caranya angka itu bikin hidup masyarakat lebih baik.
Jadi, kita bakal ngegas atau malah ngehalu? Kamu sendiri percaya nggak? Drop pendapat kamu di kolom komentar, siapa tahu kita bisa ngebahas ini lebih dalem!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI