Mohon tunggu...
Darwis Kadir
Darwis Kadir Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya ingin bercerita tentang sebuah kisah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Spionase

3 Maret 2018   15:15 Diperbarui: 3 Maret 2018   15:23 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sekali lagi pak tolong anak-anak diperhatikan pelajarannya" suaranya memastikan jawaban.

Saya pamit dengan kekesalan yang membuncah. Kekesalan itu akhirnya tumpah di ruang guru,ketika teman-teman guru sedang kumpul bersama.

" Saya merasa tidak pernah tidak hadir selain waktu ke Baraka,ada lagi orang yang telah mendzalimi saya" ucapku dengan nada tinggi. Teman-teman lain dengan berbisik-bisik menanggapi saya.

Mendengar suaraku yang keras, suara batuk --batuk kecil kepala sekolah terdengar, aku yakin dia mendengar suara saya.

" Persoalannya juga teman-teman yang lain,ada yang lebih parah tapi mereka jarang mendapatkan teguran, eeehh...malah saya ada izin kok dipermasalahkan" nada suaraku masih meninggi.

Teman guru yang lain menyarankan tak usah di anggap serius,karena seperti itulah tugas kepala sekolah. Tapi saya tak mau terima,ketika apa yang telah saya usahakan tak pernah dihargai maka hati kecil saya tetap akan memberontak sampai kapan pun. Wakasek hanya manggut-manggut mendengarkan  yang saya katakan.Sudut matanya sering mencuri pandang ke arahku. Mungkin maksudnya sudahlah,tak usah diperpanjang persoalan ini,toh kepala sekolah tak marah cuma memberikan nasehat. Tapi tidak bagi saya.Nilai kejujuran harus dijunjung tinggi.

Pintu berderit,ketika terdengar langkah-langkah kaki di atas lantai semen. Ulah pemborong yang telah pintar jadi pembohong.Kutukku dalam hati. Perumahan sekolah yang belum selesai ditinggalkan begitu saja. Meninggalkan utang bagi para tukangnya. Lantai ini seharusnya dipasangi keramik. Cat didalam yang baru separuhnya di cat. Kamar mandi yang lantainya miring sehingga air tinggal menggenang.

Para tukangnya kemudian meninggalkan pekerjaannya ketika pemborongnya membawa uang yang harusnya menjadi hak mereka.Menurut kabar pemborong ini memang seperti itu wataknya. Bukan cuma perumahan sekolah ini yang mengalami nasib tidak rampung.Banyak bangunan lain. Anehnya pemborong ini tidak pernah berurusan dengan hukum.Akh...pembohong....ekhh... pemborong sialan.

" Sedang apaki pak Dar?" tanya pak Rustan yang selesai mengajar.Tampaknya dialah pemilik langkah-langkah kaki tadi itu.

"Lagi memikirkan pemborong perumahan sekolah ini dan ketidakadilan yang nyata di lingkungan kita ini,begitu mudahnya merugikan orang lain" jawabku .

"Dunia sudah tua pak,berbagai permasalahan mulai bermunculan,manusia sudah lupa akan jati dirinya" sembari mencomot tempe yang di atas meja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun