Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sayang, Ayah Ingin Dikremasi

1 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 1 Juni 2020   06:28 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh iya..." Liza tersenyum malu, lalu berbalik ke pintu.

"Mau ngapain lagi?"

"Mau mengucap salam. Aku ulangi."

Susah payah Jose menahan senyum. Dia belum bisa melepas sikap dinginnya. Memahat tanda tanya di hati Liza atas perubahan drastis itu. Walau begitu, dia tetap membersamai Jose sekalipun dinginnya mengalahkan gletser.

Sejurus kemudian, Jose meraih pegangan koper dengan tangan kanan. Tangan kirinya menggandeng tangan Ayah Calvin. Dengan sigap, Liza merebut koper hitam itu.

"Jangan bodoh, airport man. Memangnya buat apa aku jauh-jauh ke sini kalau bukan untuk membantumu?" Gadis cantik bergaun biru muda itu merepet panjang. Menyeret koper keluar paviliun.

Ayah Calvin tersenyum. Sementara itu, Jose manyun. Sebal sekali dengan perhatian Liza yang berlebihan. Cepat juga Tuhan membalikkan perasaan. Dulu ia sangat menyukai perhatian Liza.

"Dia baik sekali, ya." Ayah Calvin mengarahkan tatapan pada Liza.

Si gadis yang jadi objek pembicaraan terbatuk pelan untuk menyamarkan tawa. Jose menghempas napas kesal. Menahan diri untuk tidak melempar tanggapan sumir di depan ayahnya.

Halaman rumah sakit disiram cahaya matahari. Sempat terjadi insiden tak penting saat Jose dan Liza berebut kunci mobil. Liza berkeras ingin menyetir agar Jose fokus menjaga ayahnya. Harga diri Jose sebagai pria serasa robek jika dirinya disupiri seorang wanita. Kalau tak melihat paras pucat Ayah Calvin dan kulit putihnya yang memerah akibat panas, perebutan kunci mobil masih akan lama berakhir. Umur awal dua puluhan belum melumerkan ego mereka.

Alhasil Jose merelakan harga dirinya berantakan. Ia duduk di bangku belakang bersama Ayah Calvin. Liza fokus menyetir. Bibirnya terkulum dalam senyum geli. Antara muak melihat senyum gadis pujaannya dan lelah dengan segala keruwetan yang melanda beberapa hari belakangan, Jose meletakkan kepalanya di pangkuan Ayah Calvin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun