"Sayang, kenapa seragam sekolahmu kekecilan begini? Atau kamu yang bertambah besar?"
Sepasang tangan pucat itu mengobrak-abrik walking closet. Mencari seragam sekolah yang ukurannya pas. Jose mengawasi dengan sedih. Ayahnya sungguh telah berubah.
"Anak Ayah yang tambah besar kayaknya," ucap pria itu sambil lalu.
Nihil usahanya menemukan seragam sekolah. Ayah Calvin melangkah keluar dari walking closet ke ruang istirahat. Tertatap olehnya jam di dinding. Jarum panjangnya tepat menyentuh angka enam.
"Ayah mau berdoa dulu, ya."
Jose refleks memutar tubuh. Menatap sang ayah dengan sorot mata kebingungan. Bukankah jam enam pagi sudah lewat waktu Subuh? Belum sempat ungkapan keheranan terucap, Ayah Calvin keburu bertanya.
"Dimana kamu letakkan hio, Sayang?"
Hati Jose terasa disengat listrik ratusan volt. Tidak, ini tidak mungkin. Jerit kepedihan bergema di lorong-lorong panjang hatinya, pedih amat pedih. Ternyata Ayah Calvin melupakan perubahan jalan yang ia pilih sendiri.
Dengan sedih, disaksikannya Ayah Calvin sembahyang dengan caranya yang lama. Pria tampan berhati lembut itu lupa dengan caranya menyebut nama Tuhan yang dipilihnya sendiri di usia dewasa.
Jose berusaha melesapkan sedih hatinya. Ia menyibukkan diri untuk bersiap-siap ke kantor. Jadwal meeting dengan relasi bisnis pagi ini memaksanya meninggalkan Ayah Calvin. Nanti akan ada perawat yang menjaga ayahnya.
Usai sembahyang, Ayah Calvin kembali ke sisi anaknya. Tersenyum penuh kasih memperhatikan pantulan bayangan Jose di cermin panjang.