Ayah Calvin balas menyapa. Membawa istri dan putrinya masuk. Rumah itu berkamar sembilan. Tiap ruangannya disejukkan AC. Koridor penghubung satu ruangan dengan ruangan lainnya berlapis karpet merah. Lampu kristal berbaur dengan dua lampu utama, namun tak menyakitkan mata.
Kegembiraan Silvi tak berlangsung lama. Saat Ayah Calvin membopongnya ke lantai atas, gadis kecil itu merasakan tarikan energi besar. Energi yang hanya dipancarkan penghuni dimensi lain. Walau megah, White Mansion menyimpan banyak penghuni tak kasat mata.
“Silvi, are you ok?” Ayah Calvin bertanya cemas. Menempelkan tangan di kening Silvi. Tersadar putrinya gemetaran.
“Ayah, ada orang pakai baju putih jalan-jalan di situ.” Tunjuk Silvi ke ujung lorong.
“Mana? Nggak ada siapa-siapa kok,” sangkal Bunda Manda.
Namun, Ayah Calvin juga melihatnya. Hati sang pewaris utama White Mansion menggeletar. Ternyata Silvi mewarisi kemampuan itu.
“Teruskan, Nak. Kamu lihat apa lagi?”
Fokus mata Silvi menajam. Di depan sebuah pintu, iris kebiruannya menangkap kilasan perempuan tua bergaun acak-acakan tidur menelentang. Parasnya sepucat sadako. Bunda Manda ngeri sendiri mendengar percakapan anak dan suaminya.
“Di sini banyak sekali, Ayah. Banyak...” Silvi menghela nafas dalam-dalam. Sesuatu tak kelihatan memberati punggungnya.
Lembut ditepuknya punggung dan dada Silvi. Mentransmisikan energi dari tangannya. Ayah Calvin melindungi Silvi agar tak perlu merasakan guncangan interaksi dengan dimensi gaib.
“Mungkin yang kamu lihat itu...anggota keluarga yang sudah meninggal.”