Silvi rebahan di kamarnya. Kedua kakinya sedikit sakit, namun terus membaik. Tak ada lagi nanah mengalir keluar. Infeksinya pulih cukup cepat. Senyum terbit di sudut bibir tipis itu kala Ayah Calvin memeluknya.
“Sayangku, malam ini kita menginap di White Mansion ya.” Ajaknya.
Dua permata biru jernih milik Silvi berbinar senang. White Mansion, nama yang membangkitkan rasa penasarannya. Dia tahu kalau White Mansion adalah nama kediaman pribadi milik Ayah Calvin. Rumah utama yang dulu ditempati Ayah Calvin sekeluarga.
“Horeee! Aku mau! Kalo gitu, aku siap-siap dulu ya!”
Lupa dengan sakit di kakinya, Silvi melompat turun dari ranjang. Membuka lemari. Mengeluarkan beberapa potong pakaian. Sebuah tas ransel besar berwarna hitam didorongnya keluar dari kolong tempat tidur. Tas itu bekas pakai, pernah dibawanya sewaktu Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu). Baju, alat mandi, sepatu, ikat rambut, dan balok huruf telah berpindah ke ransel hanya dalam hitungan menit.
Kesibukan di kamar Silvi menarik perhatian Bunda Manda. Cepat disudahinya kegiatan menyiapkan menu katering. Wanita itu berlari kecil keluar dapur.
“Silvi, kamu ma...astaga!”
Bunda Manda membeku. Wajahnya berubah sendu melihat ransel menggembung tergeletak di pojok kamar. Sementara itu, Ayah Calvin sedikit mundur. Iris matanya baru saja menangkap centong nasi di tangan kanan dan sendok sayur di tangan kiri sang istri. Ayah Calvin belum mau bernasib seperti Sangkuriang yang kena pukul Dayang Sumbi.
“Silvi mau ke White Mansion sama Ayah. Boleh kan, Bunda?” pinta Silvi. Pipi dan matanya membulat lucu. Meruntuhkan hati Bunda Manda.
“Silvi mau tinggalin Bunda? Jangan dong, nanti Bunda sama siapa?” tepis Bunda Manda sedih.
Beberapa jurus kemudian, Ayah Calvin merangkul wanitanya. Melempar senyum menawan. “Kaupikir aku akan meninggalkanmu sendirian, Manda? Tidak, kau harus ikut.”