Kedua alis Bunda Manda bertaut. Ikut suaminya ke White Mansion? No way! Lebih baik dia tinggal di rumah Hobbit dari pada harus menginjakkan kaki di rumah utama.
“Tidak mau! Kau sendiri sana yang pergi! Dan jangan bawa Silvi!” gertak Bunda Manda.
“Pasti kau tak tahan hidup di sini!//”
Tuduhan Bunda Manda dijawab gelengan. Terpaksa Ayah Calvin menjelaskan situasi. Perdebatan alot tak terelakkan. Silvi yang hampir menangis menyelamatkan Ayah Calvin. Akhirnya Bunda Manda bersedia ikut. Asalkan mereka naik bus. No mobil pribadi, no taksi.
Sepuluh menit kemudian, mereka berjalan menyusuri trotoar. Silvi bertengger di bahu Ayah Calvin. Bunda Manda melenggang santai. Sama sekali tak berniat membantu suaminya yang kerepotan menggendong Silvi sambil menyeret koper kecil. Halte bus lengang sesampai mereka di sana.
Bus kota yang mereka tunggu meluncur. Badan birunya yang mencolok mudah dikenali dari jarak beberapa meter. Tak perlu khawatir kehabisan tempat duduk. Hanya ada dua penumpang ketika mereka naik. Ketiganya bebas memilih kursi. Silvi duduk sendirian, hidungnya menempel ke kaca jendela. Ayah-Bundanya menempati bariskursi di sebelah.
Ayah Calvin naik bus kota, tak ubahnya Monalisa tersasar ke kandang itik. Sosoknya sejanggal Winona Ryder di kamp para pengidap kusta. Bus tua itu tak cocok untuknya. Toh pria lembut hati itu menikmati juga. Keseringan naik mobil berpendingin udara bosan juga.
Bunda Manda bersandar nyaman di tempat duduk. Semilir angin sore memanggil kantuk. Ketika matanya hampir terpejam, ia rasakan tubuhnya ditarik. Udara khas kota besar yang ditiupkan angin berganti harum maskulin. Oh my goodness, Bunda Manda rebah di pelukan seseorang. Siapa lagi kalau bukan...
Sayup daun telinganya menangkap suara bass amat lembut. Suara itu bernyanyi merdu.
Aku masih termenung
Di tengah kesepian