Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | White Mansion

22 April 2020   06:00 Diperbarui: 22 April 2020   06:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

White Mansion

“Revan, kamu jangan bercanda. Aku nggak mau lagi terima kerjaan yang melibatkan penampilan.” Ayah Calvin setengah tertawa. Menatap wajah bule sahabatnya dari layar handphone.

“Ayolah, Calvin. Aku punya dua program variety show di televisiku untukmu. Di sini aku butuh kamu,” bujuk Revan plus puppy eyes dari video call.

Ayah Calvin menghempas nafas. Jangankan dua, satu program saja ia tak mau. Memandu program variety show Senin-Jumat pukul enam sore menyita waktu. Ok fine, waktu take hanya satu jam. Tetapi, persiapan dengan tim, breiffing, mencari narasumber, dan bekerjasama dengan tim kreatif soal konten, bukankah butuh waktu? Tawaran Revan berseberangan dengan prioritas Ayah Calvin. Saat ini dia ingin fokus dengan Silvi dan Bunda Manda.

“Tolonglah sahabatmu yang paling tampan ini.” Di saat begini, Revan masih saja narsis.

“Kalau kamu mengambil tawaran itu, ada perusahaan besar yang akan mensponsori acaramu. Juga memberi suntikan untuk televisiku. Top, kan?”


Revan benar-benar egois. Dia mengutamakan profit. Tujuan utamanya menggaet Ayah Calvin karena alasan komersial. Pria berambut ikal itu menggeleng tegas.

“Kenapa sih kamu ngotot pakai aku jadi host? TV lain mana mau incar mantan artisan setengah baya kayak aku?” selidik Ayah Calvin.

Ups, bagaimana menjelaskannya? Susah bersahabat dengan orang kritis dan detail. Ayah Calvin pasti akan menggali sampai akarnya.

“Ehm...ada request khusus dari sebuah brand. Mereka menginginkanmu sebagai host. Mereka hanya akan memberi sponsor full kalau kamu mau.”

“Brand apa?”

Revan meneguk saliva. Ia tahu ini perkara sensitif.

“Mungkin kamu kenal. Pemiliknya jewelry sibling. Sebuah brand berlian.”

Hati Ayah Calvin jatuh terbenam menembus lantai. Jewelry sibling berurusan dengan sahabatnya? Pasti ada yang tidak beres. Perlahan tapi pasti, Ayah Calvin mencium rencana.

“Sampai kapan pun, aku takkan mau!” tolak Ayah Calvin.

“Calvin, please...”

Rupanya jewelry sibling bermain kotor. Mereka menjadikan Revan sebagai boneka pemisah Ayah Calvin dengan istri dan putrinya. Jewelry sibling sungguh licik.

“Ingat baik-baik, Revan. Aku takkan mau bekerjasama denganmu bila ada korelasinya dengan jewelry sibling. Mereka punya taktik licik untuk memisahkan aku dengan Silvi dan Manda. Tak mau aku kehilangan lagi.” Cecar Ayah Calvin panjang lebar.

Di kantornya, Revan mengernyit. Tak biasanya Ayah Calvin bicara sepanjang dan seemosi itu. Adakah dendam pribadi di antara peritel dan pengusaha berlian? Setahunya, Ayah Calvin tak punya musuh. Ia selalu membangun hubungan baik dengan semua orang, tak peduli itu pengusaha besar maupun office boy.

“Hei, tenang dulu. Aku tak bermaksud mengajakmu konfrontasi. Begini saja. Nanti malam aku datang ke rumah Manda ya? Kita ngobrol. Aku bawa proposal acaranya. Bye.”

Sambungan video call diputus. Ayah Calvin kesal. Berani sekali jewelry sibling memanfaatkan Revan. Kali ini dia harus bertindak tegas.

Balok mainan warna-warni dibereskan. Jera memakai krim Ayah Calvin memutuskan balok huruf adalah media terbaik untuk mengajari Silvi. Ia mengemas sejumlah balok huruf itu ke dalam kotak. Lalu ia beranjak ke kamar Silvi.

Silvi rebahan di kamarnya. Kedua kakinya sedikit sakit, namun terus membaik. Tak ada lagi nanah mengalir keluar. Infeksinya pulih cukup cepat. Senyum terbit di sudut bibir tipis itu kala Ayah Calvin memeluknya.

“Sayangku, malam ini kita menginap di White Mansion ya.” Ajaknya.

Dua permata biru jernih milik Silvi berbinar senang. White Mansion, nama yang membangkitkan rasa penasarannya. Dia tahu kalau White Mansion adalah nama kediaman pribadi milik Ayah Calvin. Rumah utama yang dulu ditempati Ayah Calvin sekeluarga.

“Horeee! Aku mau! Kalo gitu, aku siap-siap dulu ya!”

Lupa dengan sakit di kakinya, Silvi melompat turun dari ranjang. Membuka lemari. Mengeluarkan beberapa potong pakaian. Sebuah tas ransel besar berwarna hitam didorongnya keluar dari kolong tempat tidur. Tas itu bekas pakai, pernah dibawanya sewaktu Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu). Baju, alat mandi, sepatu, ikat rambut, dan balok huruf telah berpindah ke ransel hanya dalam hitungan menit.

Kesibukan di kamar Silvi menarik perhatian Bunda Manda. Cepat disudahinya kegiatan menyiapkan menu katering. Wanita itu berlari kecil keluar dapur.

“Silvi, kamu ma...astaga!”

Bunda Manda membeku. Wajahnya berubah sendu melihat ransel menggembung tergeletak di pojok kamar. Sementara itu, Ayah Calvin sedikit mundur. Iris matanya baru saja menangkap centong nasi di tangan kanan dan sendok sayur di tangan kiri sang istri. Ayah Calvin belum mau bernasib seperti Sangkuriang yang kena pukul Dayang Sumbi.

“Silvi mau ke White Mansion sama Ayah. Boleh kan, Bunda?” pinta Silvi. Pipi dan matanya membulat lucu. Meruntuhkan hati Bunda Manda.

“Silvi mau tinggalin Bunda? Jangan dong, nanti Bunda sama siapa?” tepis Bunda Manda sedih.

Beberapa jurus kemudian, Ayah Calvin merangkul wanitanya. Melempar senyum menawan. “Kaupikir aku akan meninggalkanmu sendirian, Manda? Tidak, kau harus ikut.”

Kedua alis Bunda Manda bertaut. Ikut suaminya ke White Mansion? No way! Lebih baik dia tinggal di rumah Hobbit dari pada harus menginjakkan kaki di rumah utama.

“Tidak mau! Kau sendiri sana yang pergi! Dan jangan bawa Silvi!” gertak Bunda Manda.

“Pasti kau tak tahan hidup di sini!//”

Tuduhan Bunda Manda dijawab gelengan. Terpaksa Ayah Calvin menjelaskan situasi. Perdebatan alot tak terelakkan. Silvi yang hampir menangis menyelamatkan Ayah Calvin. Akhirnya Bunda Manda bersedia ikut. Asalkan mereka naik bus. No mobil pribadi, no taksi.

Sepuluh menit kemudian, mereka berjalan menyusuri trotoar. Silvi bertengger di bahu Ayah Calvin. Bunda Manda melenggang santai. Sama sekali tak berniat membantu suaminya yang kerepotan menggendong Silvi sambil menyeret koper kecil. Halte bus lengang sesampai mereka di sana.

Bus kota yang mereka tunggu meluncur. Badan birunya yang mencolok mudah dikenali dari jarak beberapa meter. Tak perlu khawatir kehabisan tempat duduk. Hanya ada dua penumpang ketika mereka naik. Ketiganya bebas memilih kursi. Silvi duduk sendirian, hidungnya menempel ke kaca jendela. Ayah-Bundanya menempati bariskursi di sebelah.

Ayah Calvin naik bus kota, tak ubahnya Monalisa tersasar ke kandang itik. Sosoknya sejanggal Winona Ryder di kamp para pengidap kusta. Bus tua itu tak cocok untuknya. Toh pria lembut hati itu menikmati juga. Keseringan naik mobil berpendingin udara bosan juga.

Bunda Manda bersandar nyaman di tempat duduk. Semilir angin sore memanggil kantuk. Ketika matanya hampir terpejam, ia rasakan tubuhnya ditarik. Udara khas kota besar yang ditiupkan angin berganti harum maskulin. Oh my goodness, Bunda Manda rebah di pelukan seseorang. Siapa lagi kalau bukan...

Sayup daun telinganya menangkap suara bass amat lembut. Suara itu bernyanyi merdu.

Aku masih termenung

Di tengah kesepian

Berharap sesuatu yang tak pasti

Engkau sangat menjeratku

Sungguh ku hanya inginkan

Hatimu yang tlah termiliki

Iblis. di dalam dada ini

Trus mengusik keyakinanku

Ku bertanya apakah aku bisa

Memiliki hatinya

Aku merasa tenang

Saat ku mencoba untuk

Selalu membayangkan wajahmu

Iblis. di dalam dada ini

Trus mengusik keyakinanku

Ku bertanya apakah aku bisa

Memiliki hatinya (D’masiv-Dilema).

**   

Lima batang lampu taman menyala serempak. Halaman mansion bermandi kerlipan cahaya. Silvi mengucek-ucek matanya. Ini halaman rumah atau stadion ya? Luas sekali. Kelak kalau sudah sembuh, ia akan bersepeda mengitari halaman.

Sebuah carport berpayung fiber bening terbentang. Menampakkan dua mobil mulus mengilap. Teras seluas 5x3 dilengkapi seperangkat sofa empuk dan coffee table. Seluruh bangunan rumah bercat putih. Cahaya lembut lelampu taman membuat pendar putih warna indah melingkupi keseluruhan bangunan rumah. Cantik sekali. Bahkan, air mancur yang menari riang disepuh warna putih.

“Wow, rumah Ayah bagus banget.” Silvi mendesah kagum.

“Ini rumah Silvi juga, Sayang.” Ralat Ayah Calvin.

Bunda Manda berdecak tak sabar. Sebelum mulutnya membombardir Ayah Calvin dengan peluru protes, pintu ganda di ujung teras mengayun terbuka. Memperlihatkan kilasan ruang tamu seluas ballroom Pelangi di Mercure Hotel, Ancol. Dua asisten rumah tangga membungkuk hormat.

“Selamat malam Tuan, Nyonya, Nona...” sapa mereka berirama seperti paduan suara.

Ayah Calvin balas menyapa. Membawa istri dan putrinya masuk. Rumah itu berkamar sembilan. Tiap ruangannya disejukkan AC. Koridor penghubung satu ruangan dengan ruangan lainnya berlapis karpet merah. Lampu kristal berbaur dengan dua lampu utama, namun tak menyakitkan mata.

Kegembiraan Silvi tak berlangsung lama. Saat Ayah Calvin membopongnya ke lantai atas, gadis kecil itu merasakan tarikan energi besar. Energi yang hanya dipancarkan penghuni dimensi lain. Walau megah, White Mansion menyimpan banyak penghuni tak kasat mata.

“Silvi, are you ok?” Ayah Calvin bertanya cemas. Menempelkan tangan di kening Silvi. Tersadar putrinya gemetaran.

“Ayah, ada orang pakai baju putih jalan-jalan di situ.” Tunjuk Silvi ke ujung lorong.

“Mana? Nggak ada siapa-siapa kok,” sangkal Bunda Manda.

Namun, Ayah Calvin juga melihatnya. Hati sang pewaris utama White Mansion menggeletar. Ternyata Silvi mewarisi kemampuan itu.

“Teruskan, Nak. Kamu lihat apa lagi?”

Fokus mata Silvi menajam. Di depan sebuah pintu, iris kebiruannya menangkap kilasan perempuan tua bergaun acak-acakan tidur menelentang. Parasnya sepucat sadako. Bunda Manda ngeri sendiri mendengar percakapan anak dan suaminya.

“Di sini banyak sekali, Ayah. Banyak...” Silvi menghela nafas dalam-dalam. Sesuatu tak kelihatan memberati punggungnya.

Lembut ditepuknya punggung dan dada Silvi. Mentransmisikan energi dari tangannya. Ayah Calvin melindungi Silvi agar tak perlu merasakan guncangan interaksi dengan dimensi gaib.

“Mungkin yang kamu lihat itu...anggota keluarga yang sudah meninggal.”

“Tapi, kenapa Silvi nggak bisa ketemu Opa Hilarius di rumah Bunda?”

Benar juga. Apa karena Opa Hilarius meninggal dengan tenang? Masih kurangkah perhatian dan kasih sayang Ayah Calvin hingga anggota keluarganya merasakan kematian tragis? Sepertinya tidak. Ayah Calvin merawat mereka dengan totalitas penuh. Sampai-sampai dia terpaksa mencampakkan Silvi dan Bunda Manda.

Makin ke dalam, tarikan energi makin kuat. Silvi dan Ayah Calvin menarik nafas berat tiap kali merasakan flashback tiap kejadian yang dialami makhluk astral penunggu White Mansion. Beberapa kali Silvi hampir dimasuki roh halus. Pertahanan anak itu cukup kuat hingga mereka gagal masuk.

Ayah Calvin berpikir-pikir. Mungkinkah rumah ini perlu dibersihkan? Maksud hati ingin membawa Silvi dan Bunda Manda tinggal di sini selamanya. Bagaimana Silvi bakal betah jika tempatnya angker begini?

Warna aura Silvi yang kuning kecoklatan menjadi magnet bagi penghuni dimensi lain untuk unjuk gigi. Pesona Silvi, ditambah kerinduan kuat pada Ayah Calvin, memaksa mereka hadir. Hanya Bunda Manda yang tidak terpapar efek kemunculan mereka.

“Kalian ini kenapa sih?” tuntutnya saat makan malam.

“Aku terjebak di antara klub indigo.”

Sajian chicken drumstik tak lagi nikmat. Porsi makanan yang cukup untuk lima orang terbuang percuma. Dua ART sigap membersihkan meja. Baik Silvi maupun Ayah Calvin tak menanggapi.

Usai makan malam, Ayah Calvin membawa Silvi ke kamar paling ujung. Silvi akan tidur di situ. Bunda Manda mantap menolak tidur bersama suaminya. Ia lebih memilih memakai kamar lain di lantai bawah. Praktis mereka bertiga tidur terpisah.

Tidur sendirian di kamar besar berenergi kuat sama seperti uji nyali dalam program acara Masih Dunia Lain. Silvi membolak-balik tubuh di ranjang besarnya. Terkadang ia menggigit guling, mendekap bantal, dan menarik selimut lebih rapat. Tak ada Ayah Calvin yang menemani. Tubuhnya kedinginan, meski AC diset pada kisaran 20.

Ketika ia hampir berhasil memejamkan mata...

“My dearest one, my sleepy one. It's time to go to bed...”

Silvi merinding hebat. Hawa dingin menyapu tengkuknya. Sosok transparan seputih-mutiara membungkuk, menyanyikan petikan lagu Celine Dion dengan suara bass bertimbre berat nan empuk. Jelas itu bukan suara Ayah Calvin, sekalipun ambitus suaranya sama. Dan Ayah Calvin tak mungkin sepucat asap.

“Waaaaaaaah...!” jerit Silvi ketakutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun