Untaian pesan Frater Gabriel menyiramkan ketenangan di jiwaku. Aku harus kuat menghadapi raut dingin Papa di meja makan. Toh masih ada Ayah. Dia akan selalu bersamaku.
Ayah? Kalau dipikir-pikir lagi, Ayah ratusan kali lipat lebih sabar dari Papa. Senakal apa pun, Ayah tidak pernah mendiamkanku. Ayah lebih memilih diam saat marah. Kalaupun dia marah, kemarahannya tak menyakitiku.
Ah, apa-apaan aku ini? Kenapa aku malah membandingkan Ayah dan Papa? Tapi, kenyataannya memang begitu kok. Ayah jauuuuh lebih sabar.
Pintu kamarku diketuk halus. Aku bangkit dan membukanya. Ayah berdiri tegak di ambang pintu. Tangan kanannya membawa segelas susu, dan tangan kirinya memasukkan iPhone ke dalam saku. Dia tersenyum melihatku sudah bangun.
"Selamat pagi, Sayangku." sapanya dengan gaya khasnya.
"Pagi, Ayah. Makasih ya, susunya. Ayah, temenin aku bentaaaar aja."
Kami masuk ke kamar. Ayah duduk di pinggir ranjangku. Aku menyesap susu coklat pelan-pelan. Dari sudut mata, kulihat Ayah mengeluarkan iPhonenya lagi dan membuka aplikasi entah apa.
"Ayah...?"
"Ya?"
"Ayah lagi chatting sama siapa?"
"Nggak kok, Ayah nggak lagi chatting."