"Aku chat Papa. Tapi cuma di-read." kataku sedih.
Traffic light menyala merah. Ayah menurunkan tangan dari kemudi mobil. Dibelainya rambutku.
"Sabar, Sayang. Nanti juga Papa chat kamu." hiburnya.
Ah, aku tak yakin. Papa kan gila kerja. Mana sempat chat anaknya?
Aneh. Kian lama, kepercayaanku kepada Papa terus mengecil. Belakangan ini, aku lebih dekat dengan Ayah. Kedekatanku dengan Ayah bertambah erat sejak aku tahu Ayah sakit.
Tirai lamunanku membuka. Ayah bisa menjadi apa saja untukku. Ia lebih dari sekedar ayah. Pria bernama Calvin Wan itu menjadi ayah merangkap sahabat sejati, kekasih, tempat curhat, guru, dan konselorku.
Sibuk berpikir membuatku mengantuk. Kepalaku tersandar di lengan Ayah. Aku tertidur.
Saat terbangun, jari-jari kakiku beku kedinginan. AC mobil, ditambah lagi udara perbukitan, membuat suhu dua kali lipat lebih dingin. Namun, kurasakan sepotong kain lembut melapisi sekujur tubuhku.
Selimut? Benar, ini selimut. Pastilah Ayah mengambil selimut dari bangku belakang dan menyelubungkannya ke tubuhku. Ah, manisnya...
Dengan kaki pegal dan tubuh remuk, aku berjalan masuk ke rumah. Ayah melangkah di sisiku. Wajah Ayah lebih pucat dari pertama kali aku memandangnya sore tadi.
Prok...prok...prok!