Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Bintang Jatuh

19 November 2019   06:00 Diperbarui: 19 November 2019   06:04 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 6

Bintang Jatuh

-Fragmen si kembar

Sore ini spesial untuk Calvin. Apakah karena ia dinyatakan sembuh oleh Dokter Tian? Bukan, Onkologis itu justru menyuruhnya lebih banyak istirahat. Apakah karena laporan penjualan di lima gerai supermarketnya naik dua ratus persen? Tidak, bisnis retail konvensional justru sedang resesi. Lantas, karena apa?

Satu-satunya yang membuat Calvin bahagia hanyalah Silvi. Hari ini, hari terakhir LKO sekaligus hari pelantikan pengurus OSIS. Para wali murid diundang. Tak lepas Calvin menatapi surat undangan berwarna putih dengan logo rosario cantik di kopnya.

Kebanggaan meletup di dada. Dua jam tiga puluh menit tiga puluh detik lagi, ia akan melihat putrinya dilantik sebagai pengurus organisasi paling bergengsi di seluruh sekolah. Orang tua mana yang tidak bangga?

Calvin menatap refleksi dirinya di cermin. Pria tampan berparas pucat balas memandangnya. Ia gerakkan tangan untuk merapikan lipatan jas. Obsesinya kali ini adalah tampil sempurna di acara spesial Silvi.

Selesai bercermin, Calvin meraih iPhonenya. Orang tua Silvi ada dua. Tak adil bila si workaholicitu ketinggalan informasi. Dicobanya request Skype. Gagal. FaceTime, sama saja. Nampaknya, Adica tak mau video call.

"Jangan video call. Telpon biasa aja."

Nah, benar kan? Adica mengirimkan seuntai pesan. Tak buang tempo, Calvin menelepon saudara kembarnya.

"Ada apa?" tanya Adica pendek.

"Anak kita dilantik sebagai pengurus OSIS." jawab Calvin, tak bisa menutupi nada bangga dalam suaranya.

"Ok." Adica membalas datar.

Sejujurnya, Calvin sedikit kecewa dengan sikap Adica. Kenapa responnya datar begitu? Tidakkah dia ingin mengucap selamat pada Silvi?

"Kamu kok gitu? Ini momen penting buat Silvi. Kasih selamat dong, atau hal lain." kata Calvin kecewa.

"Calvin, terus terang aja ya. Aku lebih suka Silvi fokus sekolah. Nggak usahlah dia jadi pengurus OSIS segala. Pengurus OSIS banyak dispen tau. Ntar nilainya terganggu. Masa calon pewaris perusahaan besar nilainya kayak bebek berenang?"

Mendengar itu, Calvin terenyak. Egois sekali saudara kembarnya. Hanya akrena Adica tidak suka berorganisasi semasa sekolah. Hanya karena ia sangat berbeda dari kakak kembarnya. Jauh di dalam hati, Calvin senang karena Silvi mengikuti jejaknya.

"Silvi selalu menginginkan kehadiranku, tapi dalam banyak hal dia mirip kamu." sindir Adica.

"Pikiran seorang anak bukan milik orang tuanya, Adica. Hanya dia dan Tuhan yang memegang remote pengontrol pikiran. Kamu tak bisa memaksakan orang lain menjadi dirimu." Calvin menimpali, bijak.

Adica mendengus. Dia sebal dikuliahi pelajaran hidup oleh Calvin. Calvin pun enggan berdebat. Semenit kemudian, telepon diputus.

Selama menyetir mobil ke sekolah, Calvin memikirkan sesuatu. Hadiah apa yang akan diberikannya untuk Silvi? Teraas kurang manis bila keberhasilan Silvi menjadi pengurus OSIS hanya diganjar ucapan selamat. Calvin ingin memberi kado terindah untuk belahan jiwanya.

Diingatnya benda-benda kesukaan Silvi. Boneka? Gadis itu punya lemari kaca berisi penuh boneka, dari yang ukurannya sekecil anak tikus sampai sebesar badannya sendiri. Koleksi boneka Silvi lengkap, mulai dari Teddy Bear, Kermit, sampai Barbie. Sepatu? Terakhir kali Silvi dibelikan sepatu, sebulan lalu oleh Adica. Silvi penggila sepatu branded. Something Borrowed, Velvet, Rubi, Melissa, dan Keds, semuanya ia punya. Tas dan gaun? Sama saja. Kamar Silvi sudah penuh dengan koleksi tiga benda itu.

Menghadiahi sepatu, tas, dan gaun sudah biasa. Calvin ingin memberi sesuatu yang lebih spesial. Sesuatu yang memorable, dapat dikenang Silvi sepanjang hidupnya. Sebuah ide melintas di kepalanya.

**   

Aula berlangit-langit biru itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan. Belasan wali murid bangga dan terharu. Para pengurus OSIS yang telah dilantik berdiri gagah dengan mengenakan blazer hitam dan lencana. Mulai sekarang, blazer itulah yang membedakan mereka dengan murid lainnya.

Silvi dipeluk hangat oleh Ayahnya. Binar bahagia terpancar di mata biru gadis itu. Akhirnya, setelah empat hari empat malam digembleng fisik dan mental, ia resmi menjadi pengurus OSIS. Jabatan keorganisasian yang telah lama diincarnya sejak masih SMP. Barulah saat SMA Silvi mendapatkannya.

Calvin dan Silvi menjadi pusat perhatian. Anak yang cantik, didampingi ayah yang rupawan. Semua mata tertuju pada mereka. Si kembar Rossa dan Yasmin berbisik-bisik mengagumi ketampanan Calvin.

Acara selesai. Calvin dan Silvi bergandengan tangan menuju mobil. Segala letih, pegal, dan lapar yang dirasakan gadis itu terbayar tunai.

"Selamat, Sayangku. Ayah bangga sekali sama kamu." Calvin berkata dengan ketulusan yang amat nyata.

Bibir Silvi mengguratkan senyum. Ia bergelayut manja di lengan Ayahnya.

"Ayah, Papa tahu nggak?" tanya Silvi.

"Tahu kok. Papa kan sayang sama Silvi."

Mobil Calvin meluncur mulus. Langit sore berselimut awan putih. Mentari menjatuhkan bayangannya di sepanjang jalan beraspal. Silvi heran karena Calvin tidak mengemudi ke arah rumah.

"Ayah, kita mau kemana?" Gadis berambut panjang itu tak dapat menahan keingintahuannya.

"Ayah mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu nggak terlalu capek, kan? Tempatnya bagus, kamu pasti suka."

Demi melihat wajah berseri Ayahnya, Silvi tak tega merusak suasana. Ia kesampingkan rasa lelahnya. Dibiarkannya saja Calvin membawanya kemana pun ia suka.

Sepanjang perjalanan, mereka bertukar cerita. Silvi menceritakan tentang LKO dan Calvin menceritakan kesepiannya. Tanpa Adica dan Silvi, rumah sesunyi krematorium.

Krematorium? Silvi merinding. Kenapa Ayahnya menggunakan perumpamaan itu? Tak suka dirinya bila sang ayah menyinggung soal kematian.

Tak terasa, sudah satu jam mereka berkendara. Cahaya mentari perlahan meredup. Bilur-bilur keemasan masih terpeta di langit. Mentari sore melambai, mengucap perpisahan sebelum berganti tugas dengan bulan.

Bulan pucat mengintip di balik lipatan awan. Calvin waswas. Ia berdoa dalam hati agar malam ini tidak hujan. Kalau malam ini hujan, rusaklah rencananya.

Doa Calvin terkabul. Bintang-bintang berkerlipan menemani bulan. Tepat ketika langit berselimut biru gelap, Calvin dan Silvi tiba di tempat tujuan. Mobil terparkir di tanah lapang.

"Sayang, kamu tutup mata dulu ya." ujar Calvin seraya menyelubungkan kain hitam ke mata Silvi.

"Tapi...kenapa harus tutup mata?" Silvi sedikit keberatan.

"Nanti Ayah nggak bisa kasih surprise sama kamu."

Bibir Silvi terkatup rapat. Ia takut kegelapan. Calvin menenangkannya. Mereka pun turun dari mobil.

Calvin menuntun Silvi mendaki bukit. Jalanan terjal dan berbatu-batu. Beberapa tanjakan licin dibasuh sisa hujan kemarin. Silvi takut, tetapi ia percaya pada Ayahnya. Ayahnya bisa menuntunnya dengan baik.

Bukan keselamatan dirinya yang ada dalam prioritas. Kecemasan tentang kondisi Calvin lebih menyita pikiran Silvi. Bagaimana bila Calvin sesak nafas? Bagaimana bila dada Calvin sakit? Pendakian tidak baik untuknya.

Kekhawatiran Silvi keliru. Calvin baik-baik saja sesampai di atas bukit. Kedua tangannya melepas lembut penutup mata. Disuruhnya Silvi membuka mata.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Silvi terpesona. Sebuah bukit penuh bunga terhampar indah. Bintang-bintang menyala sangat terang dan jelas, berpadu dengan kerlip lampu kota di bawah sana. Sebuah pemandangan yang luar biasa indah.

"Wow..." bisik Silvi takjub.

"Gimana? Kamu suka?" Calvin harap-harap cemas.

"Cuma orang gila yang nggak suka ini. Temptnya bagus banget, Ayah."

Calvin tertawa, senang dan lega. Ia sempat khawatir Silvi tak menyukai tempat pilihannya. Silvi heran kenapa Ayahnya yang jarang keluar rumah punya referensi tempat sebagus ini.

Mereka berdua duduk bersila di rumput. Beberapa jurus kemudian, Calvin membuka keranjang piknik yang dibawanya. Perut Silvi melilit lapar. Terpandang olehnya dua bungkus nasi bakar, perkedel bayam kacang merah, tofu goreng Baby Kailan, carrot cornflakes nugget, vegetable siomay, dan cup cake.

"Wow, makanannya banyak banget. Makanan sehat kayak gini...pasti Ayah semua yang masak." terka Silvi.

"Tepat sekali. Ayah ingin kita hidup sehat, Sayang. Jangan sampai ada yang kena kanker lagi di keluarga kita."

Wajah Calvin membiru sendu. Silvi sedikit tertunduk. Ah, kanker. Betapa jahatnya penyakit itu. Penyakit yang mengancam nyawa Calvin sewaktu-waktu.

"Ah, maaf. Kok malah sedih-sedihan sih? Kita, kan, mau rayain hari ini. Ayo dimakan, Sayang. Kamu mau makan apa dulu?"

Layaknya sepasang kekasih, mereka saling menyuapi. Silvi memuji kelezatan masakan Calvin. Ayahnya memang berbakat menjadi chef. Kalau Papanya, mana pernah main di dapur? Masak air saja membuat dapur nyaris kebakaran.

"Coba ada Papa ya..." gumam Silvi tanpa sadar.

Kecewa menggumpal di dada Calvin. Mengharapkan Adica membuang waktunya untuk piknik sesulit mengharapkan Miriam Belina menjadi Miss Indonesia. Calvin merasakan betapa besar keinginan Silvi untuk quality time dengan sosok Papa yang dikaguminya.

Sayang sekali, Calvin bukanlah Adica. Paras mereka boleh mirip. Meski demikian, sifat dan kebiasaan mereka berbanding terbalik.

Usai menghabiskan isi keranjang piknik, Calvin dan Silvi bersantai di bukit cantik itu. Bukit sepi sekali. Mungkin karena ini hari kerja dan tanggal tua. Orang enggan jalan-jalan bila berbenturan dengan dua alasan itu. Silvi memanfaatkan sepinya bukit untuk berfoto. Diajaknya Calvin berfoto dalam berbagai gaya.

"Jangan dishare di medsos ya," Calvin tegas melarang.

"Lho kenapa? Ayah kan ganteng. Biar semua teman-teman Silvi iri karena ayahnya Silvi kayak bintang film." bantah Silvi bandel.

Calvin mencubit gemas pinggang Silvi. "Ayah sudah terlanjur nyaman dengan privasi, Sayang. Kamu boleh share di medsos kalau foto sama Papa."

Silvi cemberut. Namun, ia tak memaksa. Ayahnya memang lonewulf. Medsosnya saja tak terisi foto pribadi. Teman Calvin sangat sedikit, beda dengan Adica yang luas lingkup pergaulannya.

Mereka bertahan lebih lama di bukit. Calvin memberi tahu Silvi tentang prakiraan BMKG mengenai adanya bintang jatuh. Silvi senang campur antusias. Kelelahannya menguap sirna.

Sambil menunggu bintang jatuh, Calvin dan Silvi berpelukan. Hawa dinggin menggelitik tubuh mereka. Silvi bernyanyi lembut mengusir dingin.

Ku tak percaya kau ada di sini

Menemaniku di saat dia pergi

Sungguh bahagia kau ada di sini

Menghapus semua sakit yang kurasa

Mungkinkah kau merasakan

Semua yang ku pasrahkan

Kenanglah kasih.

Ku suka dirinya, mungkin aku sayang

Namun apakah mungkin, kau menjadi milikku

Kau pernah menjadi, menjadi miliknya

Namun salahkah aku, bila ku pendam rasa ini

Mungkinkah kau merasakan

Semua yang kupasrahkan

Kenanglah kasih

Kusuka dirinya

Mungkin aku sayang

Namun apakah mungkin

Kau menjadi milikku

Kau pernah menjadi

Menjadi miliknya

Bila kupendam rasa ini

Kusuka dirinya

Mungkin aku sayang

Namun apakah mungkin

Kau menjadi milikku

Kau pernah menjadi

Menjadi miliknya

Namun salahkah aku

Bila kupendam rasa ini (Vierra-Rrasa Ini).

Dan...

Apa yang mereka tunggu datang juga.

Bintang jatuh!

"Ayah, make a wish!" seru Silvi tertahan.

Mata mereka terpejam. Silvi menangkupkan tangan di depan dada. Hatinya menggumamkan harapan. Di sampingnya, Calvin tenggelam dalam pusaran harapan terdalam.

"Aku ingin Ayah sembuh." Silvi berbisik lirih, amat lirih.

"Aku ingin bersama Silvi selamanya."

Keheningan lama berlalu. Mereka pun kembali membuka mata. Calvin dan Silvi saling pandang penuh arti.

"Apa harapannya?" tanya mereka bersamaan.

Lagi-lagi keduanya berpandangan, lalu tertawa. Calvin menepuk lembut telapak tangan Silvi.

"Kamu duluan. Ladies first." Calvin mempersilakan.

Alih-alih bicara, Silvi malah menggaruk rambutnya yang tak gatal. Calvin menatapnya, tercabik antara kepo dan geli.

"Nggak mau kasih tahu ah. Takutnya nggak terkabul." kata Silvi cepat.

"Ok. Kalo gitu, Ayah juga rahasiain harapannya."

Silvi mendelik. Calvin mengacak-acak rambutnya.

Kenapa interaksi mereka begitu cair? Dengan Papanya yang selalu ia kagumi pun, tak pernah Silvi sedekat ini. Seakan ada tembok tak kasat mata antara Silvi dengan sang Papa. Namun, tembok itu tak ada di antara Silvi dan Calvin.

**   

-Fragmen Silvi

Tubuhku penat. Namun, hatiku seringan awan. Hari ini menyenangkan sekali. Aku dilantik menjadi pengurus OSIS. Dan aku bisa melihat bintang jatuh. Tak sabar ingin kukabarkan hal ini pada Papa.

Dalam perjalanan pulang, kuketikkan beruntai pesan ke nomor Whatsapp Papa. Kuceritakan keseruan hari ini. Senyumku mengembang saat dua centang biru berpendar di layar. Pesanku langsung dibaca. Papa sedang online.

Semenit. Tiga menit. Lima menit. Papa sudah membacanya, tapi kok tidak ada balasan ya? Apa Papa terlalu sibuk sampai lupa membaca pesan? Memangnya pesanku ini koran?

"Kenapa liatin handphone terus, Silvi? Awas, lama-lama liat handphone sementara cahaya minim bisa merusak mata." Ayah menakutiku.

Aku tertegun. Buru-buru aku mengantongi iPhoneku.

"Aku chat Papa. Tapi cuma di-read." kataku sedih.

Traffic light menyala merah. Ayah menurunkan tangan dari kemudi mobil. Dibelainya rambutku.

"Sabar, Sayang. Nanti juga Papa chat kamu." hiburnya.

Ah, aku tak yakin. Papa kan gila kerja. Mana sempat chat anaknya?

Aneh. Kian lama, kepercayaanku kepada Papa terus mengecil. Belakangan ini, aku lebih dekat dengan Ayah. Kedekatanku dengan Ayah bertambah erat sejak aku tahu Ayah sakit.

Tirai lamunanku membuka. Ayah bisa menjadi apa saja untukku. Ia lebih dari sekedar ayah. Pria bernama Calvin Wan itu menjadi ayah merangkap sahabat sejati, kekasih, tempat curhat, guru, dan konselorku.

Sibuk berpikir membuatku mengantuk. Kepalaku tersandar di lengan Ayah. Aku tertidur.

Saat terbangun, jari-jari kakiku beku kedinginan. AC mobil, ditambah lagi udara perbukitan, membuat suhu dua kali lipat lebih dingin. Namun, kurasakan sepotong kain lembut melapisi sekujur tubuhku.

Selimut? Benar, ini selimut. Pastilah Ayah mengambil selimut dari bangku belakang dan menyelubungkannya ke tubuhku. Ah, manisnya...

Dengan kaki pegal dan tubuh remuk, aku berjalan masuk ke rumah. Ayah melangkah di sisiku. Wajah Ayah lebih pucat dari pertama kali aku memandangnya sore tadi.

Prok...prok...prok!

Seseorang bertepuk tangan. Kami terperangah. Papa bertolak pinggang di puncak tangga. Ia siap menyemburkan murka.

"Good job!" ucapnya sarkastik.

"Aku sengaja pulang sehari lebih awal, bikin kejutan, kalian malah pulang larut malam! Senang ya, ngerjain aku!"

"Adica, aku yang salah. Kamu jangan marahi Silvi..."

"Diam! Terima kasih sudah membuatku kecewa!"

Dengan kata-kata itu, Papa berjalan angkuh menaiki tangga. Hatiku runtuh. Pantas saja Papa tidak membalas pesanku.

Ayah merengkuh bahuku. Ia berusaha menenangkanku. Bagiku, Ayah tidak salah. Minimnya perhatian Papa pada hal-hal seperti ini membuat Ayah tergerak ingin mengambil alih peran. Sungguh, Ayah tidak salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun