"Nggak...nggak mungkin!" ratapnya.
Bukan, bukan ini yang diinginkan Calvin. Tangis putrinya adalah hal terakhir dalam daftar kemungkinan terburuknya.
Tangis Silvi pecah. Ia lemas dalam pelukan Calvin Ayah dan anak itu berpelukan erat sekali.
"Kita harus menerima kenyataan, Sayangku. Jika tidak bisa menerima kenyataan, bagaimana solusi ditemukan?" Calvin berbisik lembut.
"Ayah sakit kanker! Ayah sakit parah! Aku...aku..."
Tanpa dijelaskan pun, Calvin memahami isi hati Silvi. Gadis itu takut kehilangannya.
"Itu sebabnya Ayah bekerja dari rumah, tidak seperti Papa yang bisa ke kantor tiap hari. Bekerja di lingkungan perokok itu berat, Nak."
"Ayah nggak pernah merokok! Tapi kenapa bisa kena kanker?" protes Silvi. Pada saat bersamaan, petir kembali menggeletar.
"Perokok pasif lebih berisiko. Orang-orang seperti Ayah terpapar asap. Dan...beginilah akibatnya."
Isak tangis Silvi bersahutan dengan gemuruh petir. Calvin menuntun Silvi meninggalkan kamar mandi. Didudukkannya gadis belia itu ke tempat tidur. Dielusnya rambut Silvi penuh sayang.
"Silvi, kalau suatu saat nanti kamu punya ibu, datangnya dari Papa. Orang berpenyakit seperti Ayah tidak pantas membangun ikatan dengan seorang wanita. Ayah berkomitmen 95% untuk tidak menikah."