Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Pria yang Tak Punya Waktu untuk Bercinta

12 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 12 Desember 2018   06:04 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com

"Dua ayam bakar madu," pesan seorang pemuda berskinny jeans biru di sebelahnya.

Ia tersenyum sabar, mencoba mengalah. Pemuda berambut gondrong itu datang lebih dulu, namun dilayani lebih cepat. Ia menyerobot tak mau toleran. Pagi-pagi sudah menguji kesabaran. Tak apalah. Violinis dan penyiar itu mencontek ilmu sabar dari Abi Assegaf dan Arlita.

Arlita bertolak pinggang, menatap Yonathan dengan angkuh. Pria tambun yang sudah tidak tampan lagi itu terus mengganggunya.

"Tidak bosan kamu datang ke butikku?"

Tidak, Adica tidak bosan menunggu. Dirinya baru dilayani setelah kepergian pemuda setengah bad boy itu. Pelayan berparas manis mengangguk saat ia menyebutkan pesanan. Tak lama, berkotak-kotak kue keju berpindah ke tangannya. Lengkap dengan senyum manis si pelayan.

"Terima kasih," Adica tersenyum ramah, lalu berjalan cepat meninggalkan cafe.

Trotoar sudah dipadati orang-orang berbaju kantoran sepagi ini. Adica adu cepat dengan mereka menuju studio. Waktunya mepet. Ia harus naik siaran lagi setelah siaran berjaringan selesai.

"Selesai? Kita belum selesai, Arlita." kata Yonathan, tertawa getir.

Arlita menggebrak meja. "Sudah selesai! Kau tidak tahu diri, Yonathan! Apa matamu buta?"

Tangannya terangkat, memperlihatkan sebentuk cincin emas bertatahkan berlian besar. Terukir jelas nama Zaki Assegaf di sana.Yonathan mengangkat alisnya meremehkan.

"Itu hanya lambang. Tidak berarti aku harus berhenti berusaha..."

Berusaha tepat waktu, itulah yang coba Adica lakukan. Voila, ia berhasil. Ia kembali masuk kotak siaran dua menit sebelum siaran berjaringan berakhir. Hatinya lega.

"Pendengar, baru saja telah kita ikuti warta berita siaran berjaringan nasional. Saat ini saya, Adica Wirawan Assegaf, kembali menemani Anda di Harmoni Pagi."

Pagi-pagi mendapat gangguan dari mantan kekasih rasa pebinor, godaan setan untuk Arlita. Yonathan terus saja membujuk, merayu, mengancam, dan menjelek-jelekkan Abi Assegaf. Semua itu demi merebut hati mualaf cantik Indo-Jerman itu. Satu kata saja dipakai untuk menghina Abi Assegaf, satu patahan besar batu karang kesabaran Arlita.

"Cukup! Berhenti mengatai suamiku lemah dan mandul!" geram Arlita marah.

"Kenyataan, kan? Assegaf infertilitas sekunder, makanya anak kalian hanya satu. Sejak sakit kanker, Assegaf tak pernah lagi memberimu nafkah batin, kan?"

Gelembung kemarahan Arlita pecah. "Aku tak peduli soal itu! Aku tidak menikahi Assegaf karena dorongan biologis!"

"Arlita, pantaskah mempertahankan pria yang tak punya waktu untuk bercinta sebagai pasangan?"

"Zaki Assegaf tetap kekasih hatiku, sehat ataupun sakit. Meski dia tak mungkin lagi menyentuhku. Karena dia belahan jiwaku."


Meski pun telah kausemaikan cinta

Di balik senyuman indah

Kaujadikan seakan nyata

Seolah kau belahan jiwa

Meski pun tak mungkin lagi

Tuk menjadi pasanganmu

Namun ku meyakini cinta

Kau kekasih hati (Kahitna-Soulmate).

Alunan lagu dari radio menghentak rasa. Arlita bersyukur Adica memutarkan lagu itu. Semoga bisa menyadarkan Yonathan.

"Tidakkah kau menderita berpasangan dengan pria yang tidak punya waktu bercinta?"

"Tidak. Aku bahagia bersamanya. Aku tak butuh lagi bercinta."

Tatapan Yonathan berubah sendu. Dipandanginya sosok cantik semampai di hadapannya. Hati mantan Seminaris itu tergetar. Andai saja ia memiliki wanita ini...

"Arlita, dalam dirimu masih ada inner beauty khas seorang wanita Katolik. Kau punya kesabaran dan kesetiaan, seperti filosofi setianya doa Rosario yang didaraskan umat Katolik taat. Kau masih punya itu, Arlita."

"Sayangnya aku bukan Katolik lagi, Yonathan."

Jari-jari lentik Arlita mengusap pelan hijab putih yang menutup rambutnya. Yonathan tersenyum sarkastik.

"Bukankah kau pindah agama demi belahan jiwamu yang mandul dan tak punya waktu bercinta itu?"

Bukan, Adica tidak membeli kue-kue keju itu untuk dirinya sendiri. Jeda iklan yang cukup panjang menggerakkan kakinya naik ke lantai atas. Dibagikannya kue-kue itu pada semua pegawai di lantai dua. Mereka semua berterima kasih. Ada pula yang langsung membuka kotak kue dan memakannya.

"Abi dimana?" tanya Adica, satu kotak kue masih tergenggam di tangannya.

"Di sini, Sayang."

Lengan penuh memar kebiruan bekas suntikan intravena itu merangkulnya hangat. Wangi Calvin Klein membelai halus penciuman. Abi Assegaf balas merangkul Abinya. Para karyawan Refrain Radio sudah terbiasa melihat kemesraan Abi Assegaf dengan orang-orang yang dicintainya.

"Aku juga beli ini buat Abi." Adica mengulurkan kotak kue yang jauh lebih besar itu.

"Apa ini? Wow...terima kasih, Adica anakku. Jazakallahu khairan katsiran."

Adica penyiar paling muda, paling rupawan, sekaligus penuh kejutan. Ia sering berbagi makanan pada pegawai-pegawai Refrain Radio. Untuk ayah keduanya, tak sedikit uang yang dikeluarkan demi memberikan hadiah-hadiah mahal. Waktu, materi, kasih sayang, doa, semua ia beri.

Pagi sempurna menunjukkan harmoninya. Sejalan dengan nama program sajian musik dan informasi pagi hari di Refrain Radio. Pagi berjalan dengan lintasan harmoninya sendiri. Di radio, kehangatan dan indahnya berbagi berlangsung dengan indah. Di butik, ketegangan akibat cinta obsesif dan keputusan mempertahankan cinta sejati tengah memuncak. Suasana boleh berbeda, namun pagi tetap berjalan penuh harmoni dalam perbedaannya.

**   

Adica terus membawakan Harmoni Pagi. Dari kotak siaran, ia masih bisa memperhatikan Abi-Umminya via aplikasi yang tersambung ke CCTV. Hatinya melagukan mada kesedihan. Penghinaan besar untuk Abi Assegaf baru saja melintas di telinganya: pria yang tak punya waktu untuk bercinta.

Hinaan Yonathan tak luput dari perhatian Abi Assegaf. Tahu siapa yang dihadapi istrinya, pria itu bersedih. Benarkah ia selemah itu? Benarkah ketidakmampuannya memberi nafkah batin untuk Arlita kelak menjadi alasan kuat untuk berpisah?

"Abi pasti sedih sekali..." gumam Adica, menaik-turunkan jarinya di layar iPhone.

"Tanpa nafkah batin, toh Abi dan Ummi tetap bahagia. Tapi..."

Jingle berakhir. Saatnya sesi closing.

"Pendengar, di studio kami waktu menunjukkan tepat pukul sembilan pagi. Itu artinya saya harus mengakhiri kebersamaan dengan Anda. Tapi jangan khawatir, tetap setia di Refrain Radio. Sesaat lagi ada rekan saya, Irene Wijaya, yang akan menemani Anda. Sukses selalu, bahagia selamanya. Saya, Adica Wirawan Assegaf, pamit undur diri."

Selesailah program Harmoni Pagi. Sejurus kemudian, Adica bangkit dari kursi siaran. Ia mainkan biolanya di bawah jendela kaca. Mengadukan resah dan gelisah lewat Symphony No 5 Beethoven.

Keasyikannya bermain biola teralih. Abi Assegaf masuk studio.

"Adica anakku, ayo ikut rapat." ajaknya.

Sontak permainan biola terhenti. Tidak salahkah Abinya? Namun, ia menurut saja saat Abi Assegaf menggandeng lengannya ke lantai atas.

Mereka menyusuri lorong demi lorong. Hujan turun perlahan. Langit memutih, seputih mutiara. Awan-awan gelap terurai dalam untaian hujan. Adica memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Kata Calvin dan Abi Assegaf, saat hujan adalah waktu mustajab untuk berdoa.

"Calvin..." lirih Adica tanpa sadar.

"Kamu rindu kakak kandungmu, Nak?"

"Tidak."

Abi Assegaf tersenyum lembut. "Wajar, wajar sekali. Sebesar apa pun kebencian, masih ada percikan rasa sayang."

"Sudahlah. Oh ya, Abi jangan sedih lagi. Soal yang tadi..."

Kalimatnya menggantung di udara. Seperti akhir film Inception yang dibuat secara Cliff Hanger.

"Abi sekarang punya julukan baru: pria yang tidak punya waktu untuk bercinta." Abi Assegaf berucap lirih, gurat kesedihan terukir di wajah tampannya.

"Abi..."

"Itu benar. Abi tidak berguna lagi. Abi sakit..."

Tangan Abi Assegaf menyentuh dada, lalu menekannya. Sakit, sakit sekali. Refleks Adica menghentikan langkah. Sorot kecemasan terpancar di mata sipitnya.

Tak perlu uraian kata. Tak perlu ungkapan verbal. Adica paham, Abinya kesakitan.

"Abi, Abi tidak ingin ke rumah sakit saja? Rapatnya bisa dicancel, kan?"

"Tidak, Adica. Rapat ini penting sekali."

Adica mendesah tak kentara. Dia menyerah. Keduanya terus berjalan.

Langkah demi langkah ke ruang rapat, Abi Assegaf mencurahkan isi hatinya. Adica sabar mendengarkan. Saat ini, Abinya curhat bukan mencari solusi. Melainkan hanya ingin didengarkan. Orang berhati lembut terlatih untuk mendengarkan, namun mereka pun ingin didengarkan orang lain.

"Abi terlambat menikah dengan Ummimu. Ummi Arlita hanya bisa melahirkan satu anak, karena Abi mandul. Kesulitan memperoleh keturunan kedua. Hidup Abi dan Ummi sudah berbeda, Sayang. Kekurangan Abi banyak. Abi tidak bisa memberikan keturunan kedua, Abi sakit parah dan tidak mampu menafkahi batin..."

Isi hati tercurah dalam. Curahan hati menggulirkan kepercayaan. Sedikit rasa senang menggelitik hati Adica. Dia senang karena Abi Assegaf percaya padanya.

"...Bila Ummi Arlita menginginkan pernikahan hanya untuk nafkah batin, seharusnya Abi tahu diri dan menceraikannya." Abi Assegaf mengakhiri, pilu.

Tidak, Arlita tidak seperti itu. Arlita bukan tipe wanita yang memandang pernikahan sebegitu rendah. Pernikahan sejati tidak didasari dorongan seks semata. Pernikahan bernafaskan kasih yang tulus saat dua jiwa terikat menjadi satu dengan ikhlas tanpa syarat.

Pintu ruang rapat terbuka. Jajaran petinggi Refrain Radio duduk manis memenuhi deretan bangku tengah. Sasmita di antara mereka. Sibuk membolak-balik tumpukan berkas. Pimpinan beberapa stasiun radio berdatangan. Adica gugup. Belum pernah ia ikut rapat bersama pimpinan radio luar.

Membaca kegugupan di wajah Adica, Abi Assegaf menggenggam lembut tangan pemuda itu. Ia berbisik menenangkan. Sisi fatherly naik ke permukaan. Sepercik ketenangan menetes di hati Adica.

Semua mata tertuju pada mereka. Abi Assegaf yang tampan dalam balutan jas hitam dipadu kemeja putih. Adica tak kalah menawan dalam setelan formal berwarna grey. Setiap langkah mereka diiringi tatapan kagum.

"Abi, apa aku pantas ada di sini...?"

"Sangat pantas. Jika Abi meninggal, kamu akan menggantikan Abi memimpin Refrain."

Mendengar itu, Adica merinding seketika. Mengapa Abi Assegaf membawa-bawa perkara mati?

"Sini, Sayang..."

Tanpa ragu, Abi Assegaf memperkenalkan Adica sebagai anaknya. Para petinggi Refrain Radio tersenyum penuh arti. Beberapa pimpinan radio luar mengangguk takzim. Ada di antara mereka yang mengangkat alis. Anak? Sama sekali tidak mirip.

Mulailah Abi Assegaf memimpin rapat. Ia berterima kasih pada semua jajaran pimpinan radio yang telah meluangkan waktunya. Aura kharismatik Abi Assegaf sukses merebut perhatian audience. Tak ada peserta rapat yang mengobrol, bermain gadget, atau tertidur. Mereka semua tekun menyimak.

Beruntungnya punya pimpinan yang berwibawa, tampan luar-dalam, dan menguasai public speaking. Sosok pemimpin seperti itu mampu mengendalikan bawahannya dengan mudah.

Ternyata ada kerjasama yang akan dilakukan Refrain bersama beberapa radio sejenis. Para pemimpin radio LPP (Lembaga Penyiaran Publik) berkumpul untuk membahas kerjasama itu. Dari uraian lumayan panjang di awal rapat, tahulah Adica kalau mereka bermaksud membuat program nasional bertajuk Memilih Itu Juara. Program untuk mengkampanyekan pemilihan umum yang jujur, aman, rahasia, dan adil.

Bukan plagiat, bukan ikut-ikutan. Mereka hanya melihat gaya beberapa radio publik lainnya yang telah mengupload beberapa kegiatan terkait sosialisasi Pemilu. Tentunya mereka tak ingin kalah.

"Kepada Pak Sasmita Andrian, dipersilakan."

Sasmita maju ke depan. Meraih pelantang, lalu angkat bicara.

"Saya sudah mulai menjaring komunikasi dengan pimpinan LPP lainnya sejak akhir November. Semua keinginan dan aspirasi tentang program sosialisasi Pemilu ditampung via grup official direktur LPP. Program ini mencakup siaran Pemilu, spot Pemilu, feature, filler, talk show, dan sandiwara Pemilu. Eksekusi beberapa program mulai pertengahan Desember. Nantinya, program-program itu akan disiarkan awal tahun 2019."

Mereka semua mengangguk paham mendengar pemaparan Sasmita. Setelah itu, Abi Assegaf meminta setiap pimpinan radio mempresentasikan program usulan mereka. Dilanjutkan pertimbangan terkait budgeting dari kepala bagian keuangan.

Adica mengikuti jalannya rapat. Ia tertegun saat Abi Assegaf membanggakan dirinya di depan para pimpinan. Abi Assegaf menyebutkan semua prestasinya dan dedikasinya bersiaran di Refrain. Tanpa diduga, Abi Assegaf mempercayakan Adica untuk menangani talk show sosialisasi Memilih Itu Juara untuk warga difabel.

"Abi, kenapa aku...?" Adica berbisik tak percaya.

"Karena kamu mampu, Sayang. Selama ini, siapa yang paling mahir membawakan program Suara Difabel? Siapa yang paling disayangi pendengar disabilitas? Siapa yang paling sabar mewawancarai anak-anak difabel di sekolah luar biasa? Siapa penyiar Refrain yang paling peduli pada anak yang tidak bisa melihat, berjalan, dan mendengar? Siapa yang paling sayang anak-anak autis itu? Kamu, Sayang."

Senyuman merekah di wajah tampan Adica. Sebuah kepercayaan besar. Amanah yang harus ia jalankan sebaik mungkin. Abi Assegaf memintanya menjadi presenter untuk siaran langsung acara itu.

Kebahagiaan Adica ternoda saat kondisi Abi Assegaf menurun di tengah rapat. Ia lebih sering terbatuk. Beberapa kali kata maaf terucap. Tiap kali terbatuk saat bersiaran atau membawakan acara, Abi Assegaf selalu minta maaf pada audience.

Sasmita dan Adica yang paling mengerti. Dari sudut mata, mereka lihat Abi Assegaf mencengkeram dadanya. Kian lama seraut wajah Arabiannya kian pias.

Pemimpin Refrain Radio makin tak sehat. Hidung Abi Assegaf berdarah. Mengabaikan kelaziman tingkah laku formal di ruang rapat, Sasmita melompat turun dari bangkunya dan berlari ke meja utama. Adica lebih cepat. Ia gunakan banyak tissue untuk membersihkan darah.

Orang-orang dalam boleh saja toleran dan memahami. Namun, belum tentu orang luar. Mereka tak mengerti, sungguh tak mengerti. Mereka tak paham betapa tegangnya rapat tiap kali Abi Assegaf memimpin rapat sejak dirinya sakit. Bukan ledakan emosi, tetapi naik-turunnya kondisi.

Darah di hidungnya tak juga berhenti. Sesak dadanya belum melenyap. Kekuatan apa ini? Kekuatan dari hati, yang membuatnya survive selama memimpin rapat.

**    

Paris van Java, 10 Desember 2018

Kisah cantik, ditulis setelah rapat di radio dan cerita hati yang menggetarkan dari sosok inspiratif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun