"Sayangnya aku bukan Katolik lagi, Yonathan."
Jari-jari lentik Arlita mengusap pelan hijab putih yang menutup rambutnya. Yonathan tersenyum sarkastik.
"Bukankah kau pindah agama demi belahan jiwamu yang mandul dan tak punya waktu bercinta itu?"
Bukan, Adica tidak membeli kue-kue keju itu untuk dirinya sendiri. Jeda iklan yang cukup panjang menggerakkan kakinya naik ke lantai atas. Dibagikannya kue-kue itu pada semua pegawai di lantai dua. Mereka semua berterima kasih. Ada pula yang langsung membuka kotak kue dan memakannya.
"Abi dimana?" tanya Adica, satu kotak kue masih tergenggam di tangannya.
"Di sini, Sayang."
Lengan penuh memar kebiruan bekas suntikan intravena itu merangkulnya hangat. Wangi Calvin Klein membelai halus penciuman. Abi Assegaf balas merangkul Abinya. Para karyawan Refrain Radio sudah terbiasa melihat kemesraan Abi Assegaf dengan orang-orang yang dicintainya.
"Aku juga beli ini buat Abi." Adica mengulurkan kotak kue yang jauh lebih besar itu.
"Apa ini? Wow...terima kasih, Adica anakku. Jazakallahu khairan katsiran."
Adica penyiar paling muda, paling rupawan, sekaligus penuh kejutan. Ia sering berbagi makanan pada pegawai-pegawai Refrain Radio. Untuk ayah keduanya, tak sedikit uang yang dikeluarkan demi memberikan hadiah-hadiah mahal. Waktu, materi, kasih sayang, doa, semua ia beri.
Pagi sempurna menunjukkan harmoninya. Sejalan dengan nama program sajian musik dan informasi pagi hari di Refrain Radio. Pagi berjalan dengan lintasan harmoninya sendiri. Di radio, kehangatan dan indahnya berbagi berlangsung dengan indah. Di butik, ketegangan akibat cinta obsesif dan keputusan mempertahankan cinta sejati tengah memuncak. Suasana boleh berbeda, namun pagi tetap berjalan penuh harmoni dalam perbedaannya.