Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Pertobatan Sunyi

15 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 15 Oktober 2018   06:21 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekarang kamu bebas!" ucap sipir penjara tegas.

Adica membungkuk hormat, berterima kasih, lalu mengganti pakaian tahanannya. Kini ia bebas, bebas sepenuhnya.

Ia berjanji akan memperbaiki diri. Nikmat kebebasan dengan perantara pengacara Papanya takkan disia-siakan. Semuanya telah berubah. Saatnya bertobat dan memulai lembaran baru.

Keluar penjara, Adica tak kembali ke rumah Michael Wirawan. Luntur nyalinya menginjakkan kaki di rumah besar Victoria itu setelah sang Papa meninggal. Adica belum siap menerima makian, tamparan, dan hinaan seluruh anggota keluarga Wirawan.

Ia pun berjalan menyusuri kota. Melewati ruas jalan protokol dengan deretan gedung tua peninggalan Belanda di kanan-kirinya. Barisan gedung itu diselingi pepohonan. Adica berjalan, terus berjalan. Tak peduli kelelahan dan kesemutan menjalari kedua kakinya.

Di persimpangan jalan, matanya tertumbuk ke arah papan kecil yang tergantung di pintu masuk sebuah bengkel. Rupanya pengumuman rekrut montir baru. Ini menarik bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan. Terdorong alasan coba-coba, Adica memberanikan diri mencari peruntungannya di sana. Semesta belum berpihak pada Adica. Begitu mengenali profil wajahnya, si pemilik bengkel langsung menolak.


Adica kembali berjalan dengan putus asa. Dia berpapasan dengan seorang ibu di pertigaan. Tas milik sang ibu jatuh. Adica mengambilkan tas itu, memberikannya dengan sopan. Kali ini tak ada reaksi negatif.

Berulang kali ia mencari pekerjaan. Beragam penolakan pedas diterimanya. Tak ada yang mau menerima mantan narapidana. Sekalipun si mantan narapidana sudah memasuki jalan pertobatan.

Sepi menyergap hati. Puncak kesepiannya ia labuhkan ke sebuah bukit. Pemuda orientalis itu shalat berlantaikan rumput, beratapkan langit. Hamparan bunga di sebelah kiri, bentangan rumput hijau di sebelah kanan.

Di atas bukit, Adica bersujud. Hatinya menjerit memohon kekuatan Tuhan. Ia meminta ketabahan dan bimbinganNya. Sungguh, tragedi demi tragedi yang menimpa telah membuatnya insyaf.

Baru saja ia menyelesaikan shalat, seorang pria separuh baya berwajah oriental menghampirinya. Adica tersenyum ramah, dibalas ramah pula oleh pria itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun