Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau Segalanya, Kau Selalu Ada

16 Agustus 2017   06:08 Diperbarui: 17 Agustus 2017   05:00 1581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketakutan timbul di hati kecil Wahyu. Membawa putranya ke rumah sakit mengundang risiko. Reinhart masih kecil. Wahyu khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk pada anak tunggalnya itu.

Terpaksa ia mengajak Reinhart ke rumah sakit. Ia harus menjenguk rekan bisnisnya. Kebetulan saat itu pengasuh yang biasa menjaga Reinhart minta cuti. Mana mungkin Reinhart ditinggal sendirian di rumah dalam waktu lama? Ia masih terlalu kecil. Meski sebenarnya Reinhart cukup berani. Wahyu terlalu protektif.

"Rein, kamu nggak apa-apa kan, Nak? Maaf ya, Papi ajak kamu ke rumah sakit." Wahyu bertanya, menepuk pelan puncak kepala Reinhart.

"Nggak apa-apa kok, Pap. Rein malah senang di sini. Rein bisa tahu dan rasain sendiri, enaknya punya tubuh yang sehat." jawab Reinhart polos.

Mendengar itu, Wahyu terhenyak. Putra semata wayangnya telah memahami arti bersyukur. Ia selalu berpikiran positif.

"Iya, Sayang. Makanya Rein harus banyak bersyukur sama Allah ya?" timpal Wahyu lembut.

Reinhart mengangguk mantap. Menggandeng tangan Papinya. Berdua mereka menyusuri koridor rumah sakit. Bersiap pulang.

Di koridor ketiga, tetiba langkah Reinhart terhenti. Pandangannya tertumbuk pada sebuah brankar yang didorong dengan tergesa-gesa oleh dua orang perawat. Ia menajamkan fokus penglihatannya. Dicengkeramnya tangan Wahyu erat-erat.

"Kenapa, Rein?"

"Papi, lihat. Itu kan Om ganteng dan baik hati yang kemarin nolongin Rein di kids club. Iya Pap, itu Om Calvin."

Wahyu mengikuti arah pandang Reinhart. Benar saja. Ia mengenali pria berkulit putih dan berwajah oriental yang terbaring di brankar itu.

"Pap, ayo kita ke sana. Om Calvin sakit, Pap. Rein mau ketemu Om Calvin. Mau doain Om Calvin biar cepat sembuh." Reinhart menarik tangan Wahyu.

Keduanya bergegas mengikuti laju tempat tidur beroda itu. Mereka telah tiba di ruang ICU. Reinhart terlihat begitu sedih. Wahyu hanya bisa membelai kepala anak lelakinya yang tampan itu. Mendekapnya, meyakinkan segalanya akan baik-baik saja.

Mengapa Reinhart sangat sedih? Mungkinkah My Little Reinhart telah mempunyai ikatan batin dengan Calvin Wan? Bisik hati kecil Wahyu penuh tanya. Lebih jauh lagi, mungkinkah energi hati Reinhart telah terkoneksi dengan energi hati Calvin? Sama seperti Calisa, Reinhart memiliki karunia atas mata hatinya. Intuisinya tajam. Ia jauh lebih peka dibanding anak-anak seusianya. Tajamnya mata hati memungkinkannya terhubung secara batiniah dengan orang lain. Energi hati Reinhart mungkin saja telah terkoneksi dengan energi hati Calvin. Energi hati ini pun erat kaitannya dengan energi cinta. Keduanya merupakan jenis energi positif yang bersifat menguatkan dan menyembuhkan.

Sebenarnya, Wahyu tak heran. Romo kyai dan penasihat spiritual kepercayaannya telah lama mengatakan hal itu. Bahwa Reinhart memiliki penglihatan dan kekuatan spiritual yang jauh lebih tajam. Waktu Reinhart berumur tiga tahun, tanpa diduga seorang penasihat spiritual mengusap-usap kepalanya. Lalu mengungkapkan kekagumannya pada Wahyu dan Marla. Sebab ia dapat merasakan ada yang istimewa dalam diri Reinhart.

Perlahan, Reinhart melepas pelukan Wahyu. Berjalan ke jendela kaca yang mengarah ke ruang ICU. Menatap sedih pria baik hati yang menolongnya kemarin. Mata hati bergerak menembus relung jiwa, merasakan sakit itu. Ya, Reinhart bisa memahaminya.

"Ya Allah...sembuhkanlah Papi kedua dalam hidup Rein."

Lirih, sangat lirih. Namun Wahyu dapat mendengarnya. Papi kedua dalam hidup Rein? Masya Allah...

**     

Nyonya Lola memainkan jemari tangannya di atas tuts piano. Satu per satu air matanya jatuh membasahi instrumen musik yang berdiri anggun itu. Di dekatnya, bertebaran foto-foto keempat anaknya.

"Cecilia...Celine...Caroline...Calvin, Mama sayang sekali sama kalian." isak Nyonya Lola.

Tiga dari empat anaknya telah meninggal. Kecelakaan pesawat merenggut nyawa mereka. Kini Nyonya Lola hanya memiliki satu anak. Anak yang paling disayanginya. Anak yang paling mirip dengannya. Paling rupawan, paling sabar, dan paling lembut hatinya.

"Cecilia, Celine, Caroline...kalian tahu? Adik kalian sedang sakit. Dia butuh donor hati. Dan Mama tidak bisa berbuat apa-apa untuknya."

Nyonya Lola menghapus air mata. Sepuluh jarinya menari lincah di atas tuts piano. Lalu ia mulai bernyanyi.

Seperti bintang-bintang

Hilang ditelan malam

Bagai harus melangkah

Tanpa kutahu arah

Lepaskan aku dari derita tak bertepi

Saat kau tak di sini

Seperti dedaunan berjatuhan di taman

Bagaikan debur ombak mampu pecahkan karang

Lepaskan aku dari derita tak berakhir

Saat kau tak di sini

Saat kau tak ada

Atau kau tak di sini

Terpenjara sepi

Kunikmati sendiri

Tak terhitung waktu tuk melupakanmu

Aku tak pernah bisa, aku tak pernah bisa

Seperti dedaunan berjatuhan di taman

Bagaikan debur ombak mampu pecahkan karang

Lepaskan aku dari derita tak berakhir

Saat kau tak di sini

Saat kau tak ada

Atau kau tak di sini

Terpenjara sepi

Kunikmati sendiri

Tak terhitung waktu tuk melupakanmu

Aku tak pernah bisa, aku tak pernah bisa

Saat kau tak ada

Atau kau tak di sini

Terpenjara sepi

Tak terhitung waktu tuk melupakanmu

Aku tak pernah bisa, aku tak pernah bisa

Seperti bintang-bintang

Hilang ditelan malam (Ajeng-Saat Kau Tak Di Sini).

Kini, Nyonya Lola menghabiskan sisa hidupnya sendirian. Ia menikmati kesepian dan kesedihannya. Bahkan Nyonya Lola mulai terbiasa dengan datangnya kesedihan demi kesedihan dalam hidupnya. Ia telah kehilangan banyak orang yang dicintainya: ketiga anak perempuannya, Tuan Febrian, dan Dokter Yunus. Kemungkinan besar ia akan kehilangan lagi. Wanita jelita berdarah Tionghoa itu menyiapkan mental. Ia akan ikhlas bila Allah mengambil putra tunggalnya, putra kesayangannya yang mewarisi 95% bagian dirinya.

Telepon pintarnya berdering. Ternyata menantunya yang cantik.

"Halo, Calisa. Ada apa, Sayang?"

Video call memudahkan Nyonya Lola untuk melihat apa yang terjadi. Terlihat menantu cantiknya itu ada di lorong rumah sakit. Nyonya Lola mengenali tempat itu sebagai lorong yang mengarah ke ICU. Firasat buruk menyelinap ke benaknya.

"Kenapa, Sayang?" ulang Nyonya Lola, lembut dan penuh kekhawatiran.

"Calvin kritis, Ma. Dia ada di ICU sekarang."

"Astaghfirulah...bagaimana bisa, Calisa? Apa yang terjadi?"

"Saat aku memberi tahu kalau Wahyu bersedia mendonorkan hati untuknya, tiba-tiba Calvin shock dan jatuh pingsan. Kata dokter, kondisinya kritis. Sel kanker sudah menyebar ke saluran pencernaannya. Usus halusnya bocor...perforasi, begitu istilahnya. Calvin harus segera menjalani operasi."

Sambil mendengarkan penjelasan menantu cantiknya, Nyonya Lola terburu-buru melangkah ke garasi. Meminta supir menyiapkan mobil. Dalam lima menit, Nyonya Lola telah meninggalkan villa.

"Kalau begitu, segera buat persetujuan operasi, Calisa."

"Tidak semudah itu, Mama. Kondisi Calvin sangat lemah. Riskan untuk melakukan operasi. Kadar HB-nya sangat rendah. Begitu juga albumin dan trombositnya. Selain itu, Calvin mengalami hipokalemia."

Hipokalemia adalah kurangnya kadar kalium dalam aliran darah.

Sedih dan putus asa menjalari hati Nyonya Lola. Apa yang harus ia lakukan? Fokusnya kini hanya satu: ingin secepat mungkin sampai di rumah sakit.

Apa pun akan Nyonya Lola lakukan untuk anak tunggalnya. Sebab dia segalanya untuk Nyonya Lola. Dan dia selalu ada.

Tanpa sadar, kotak ingatan Nyonya Lola terbuka. Menggulirkan sebuah kenangan.

**     

Beberapa hari setelah pernikahannya dengan Dokter Yunus, Nyonya Lola honeymoon keliling Eropa. Terlalu bahagia membuatnya lupa. Calvin jauh lebih membutuhkan dirinya dibanding Dokter Yunus.

"Take care, Ma." Calvin berpesan, memeluk Mamanya hangat. Mencium kedua pipinya.

"You too, Calvin." balas Nyonya Lola.

Dokter Yunus merangkul Calvin sekilas. Menampilkan sikap fatherly. Seakan menyayangi anak tirinya itu.

Calvin hanya menatap dingin mata Dokter Yunus. Prinsipnya tetap sama: tidak seratus persen mempercayai orang lain. Niat orang siapa yang tahu? Tidak semuanya tulus.

Ditatapnya nanar kepergian Nyonya Lola dan Dokter Yunus. Waktunya kemoterapi. Ia mesti menjalaninya sendirian.

**    

"Calvin, are you ok?" tanya Calisa cemas.

Calvin tak menjawab. Hanya bisa memuntahkan isi perutnya. Efek samping yang paling sering terjadi.

Calisa menjaganya, menemaninya, merawatnya. Memeluknya tiap kali ia kesakitan. Dua sahabat itu saling menyayangi dan memahami. Calisa tak pernah segan merawat Calvin. Ia paham betul kondisi sahabat masa kecilnya itu.

"Dokter Yunus keterlaluan." katanya geram.

"Bisa-bisanya dia mengajak Mama Lola honeymoon. Sementara kamu sedang sakit begini."

Calvin menatap mata Calisa. Berusaha menenangkan lewat tatapannya.

"Tidak masalah, Calisa. Kebahagiaan Mama adalah kebahagiaanku juga."

"Oh Calvin, kamu baik sekali."

"Jangan puji aku, Calisa."

Si gadis blasteran Sunda-Belanda mengerutkan dahinya. "Kenapa? Kamu layak mendapat pujian itu."

"Mama menikah dengan Dokter Yunus gara-gara kelemahanku."

"Apa maksudmu?"

"Mama ingin meneruskan keturunan. As you know, aku mandul. Aku tidak bisa melanjutkan garis keturunan keluarga."

Bayangan kesedihan melintas di mata Calvin. Infertilitas membuatnya tak berdaya. Bahkan ia sudah berencana takkan menikah.

"Calvin, kamu ikhlas?" lirih Calisa, suaranya bergetar.

"Ikhlas, Calisa. Demi kebahagiaan Mama dan keluargaku."

Kembali Calisa memeluk Calvin. Meski sering berbeda pendapat dengannya, Calisa sangat menyayangi Calvin. Terkadang kuatnya perbedaan membuat hati Calisa sakit. Di atas itu semua, rasa sayangnya tetap ada. Ia ingin selalu ada untuk Calvin. Seperti Calvin yang selalu ada untuk Calisa.

**    

Dua bulan pasca pernikahan, Calvin merasakan Nyonya Lola makin jauh darinya. Seluruh perhatiannya hanya tercurah untuk Dokter Yunus. Calvin seolah lenyap dari prioritasnya.

Apa yang ia takutkan terjadi. Perlahan tapi pasti, Dokter Yunus merebut Nyonya Lola darinya.

Calvin kehilangan cinta Nyonya Lola. Namun ia tetap bersabar. Kesepiannya ia coba hilangkan dengan memperbanyak kegiatan sosial. Menyantuni anak yatim-piatu. Mendampingi anak pengidap AIDS. Menjadi orang tua asuh untuk beberapa anak disabilitas dari keluarga tak mampu. Pokoknya, segala kegiatan sosial yang berkaitan dengan anak-anak. Calvin memberikan waktu, uang, dan atensinya.

Menginjak bulan ketujuh pernikahan itu, Nyonya Lola positif hamil. Kebahagiaan besar untuknya dan Dokter Yunus. Calvin ikut bahagia. Itu artinya, ia akan punya adik baru. Mungkin kehadiran anak dapat membuat keluarganya lebih bahagia. Menyapu bersih kesedihan bertubi-tubi yang mereka alami selama ini.

Nyonya Lola sangat menjaga kandungannya. Terlebih usianya sudah tak muda lagi. Diperlukan kehati-hatian ekstra. Calvin dan Dokter Yunus selalu menjaga serta mencurahi Nyonya Lola dengan perhatian mereka. Biarlah Calvin mengesampingkan perasaannya sendiri asalkan Mama dan calon adiknya baik-baik saja.

Awalnya, semua berjalan lancar. Sampai akhirnya kandungan Nyonya Lola bermasalah di bulan ketujuh. Dokter Yunus menyalahkan istrinya. Menuduh istrinya tak serius dengan kehamilannya. Inilah yang disesalkan Calvin.

"Begitukah sikap seorang dokter? Ingat Yunus, istrimu sedang mengandung anakmu." Calvin memprotes ayah tirinya. Ia to the point saja. Terang-terangan hanya memanggil nama.

Dokter Yunus tak terima. Sakit hatinya diperlakukan tidak hormat oleh Calvin.

"Tahu apa kamu soal medis?! Kamu bukan ahli kesehatan, anak muda! Sudah mapan dan punya jabatan tinggi saja berani tidak sopan dengan ayah sendiri!" hardik Dokter Yunus.

Calvin yang lembut dan penyabar itu hampir tak pernah marah. Bila pun marah, ia lebih suka menyimpannya di dalam hati. Tapi malam ini berbeda. Ia sempurna meluapkan emosinya.

"Kamu bukan ayahku, Yunus! Ayahku hanya satu! Dan dia takkan terganti dengan pria jahat sepertimu!"

Prang!

Vas kristal itu dibanting sekuat tenaga. Pecah dan hancur di lantai. Mendengar kegaduhan di lantai bawah, Nyonya Lola disergap kecemasan. Cepat-cepat ia melangkah menuruni anak tangga. Mengabaikan kondisi tubuhnya yang melemah dari hari ke hari.

"Calvin...berhenti, Sayang. Jangan lakukan itu lagi." Nyonya Lola memohon dari atas tangga.

Di anak tangga keempat, Nyonya Lola terjatuh. Sungguh tak terduga. Wanita jelita itu mengerang kesakitan. Darah segar mengalir tanpa henti.

"Lola! Apa yang terjadi denganmu?! Ada anakku di dalam kandunganmu!" Dokter Yunus setengah berteriak. Kemarahannya makin memuncak.

Calvin jauh lebih cepat darinya. Ia berlari menaiki tangga. Mengangkat tubuh ramping Nyonya Lola. Amat membenci sikap Dokter Yunus. Istrinya kesakitan luar biasa, ia justru menyalahkan dan tidak mempedulikan kondisinya.

Dalam kemarahan, Calvin mendorong tubuh Dokter Yunus. Hanya menghalangi jalannya saja. Ia segera membawa Mamanya ke rumah sakit.

Dalam perjalanan, Nyonya Lola terus merasakan sakit. Calvin menguatkannya. Menjaga Mamanya, waswas memperhatikan supir keluarga yang mengemudikan mobilnya secepat mungkin.

"Mama pasti kuat...ya? Mama pasti bisa," Calvin berkata lembut. Meraih tangan kanan Nyonya Lola. Lembut mencium jemarinya. Mensugestikan kekuatan.

Andai saja ia bisa, ingin rasanya rasa sakit Nyonya Lola dipindahkan ke tubuhnya saja. Agar Nyonya Lola tak merasakan sakit lagi. Calvin tak tega melihat kondisi Mamanya. Berat, semua ini terlalu berat.

**    

Tiba di rumah sakit, Nyonya Lola segera ditangani tim dokter terbaik. Calvin mengusahakan semua itu untuk Mamanya. Diputuskan segera untuk operasi. Kondisi Nyonya Lola sudah cukup parah.

Tak sedetik pun Calvin meninggalkan Nyonya Lola. Jam-jam menjelang operasi, Nyonya Lola begitu menderita. Beberapa kali ia muntah dan kesakitan. Di saat terkelam itulah Calvin selalu ada.

Operasi dimulai. Sekali lagi, Allah menguji Nyonya Lola Purnama dengan ujian luar biasa berat. Pendarahan hebat di meja operasi. Nyonya Lola keguguran. Janin yang sudah mati itu dikeluarkan.

Tak terkira betapa shock Nyonya Lola setelahnya. Ia sedih, frustasi, dan kehilangan. Menurut dokter, ada dua penyebab kegugurannya: faktor usia dan adanya myoma, tumor jinak di uterus. Hancur sudah ekspektasi Nyonya Lola untuk meneruskan keturunan.

**     

"Kesedihan Mama adalah kesedihanku juga." ujar Calvin lembut. Membungkuk, lalu mencium kening Mamanya.

Seminggu pasca peristiwa tragis itu, Nyonya Lola masih terpukul. Jiwanya tertekan. Rasa bersalah menggerogotinya dari dalam.

"Janin yang baru meninggal itu adalah amal Mama. Kelak di surga, dia akan menyambut kedatangan Mama dengan bahagia. Mama bisa bersamanya nanti. Bukankah janji Allah harus kita percaya?"

Calvin tak pernah lelah menghibur dan mendampingi Mamanya. Ia selalu ada di saat-saat terberat. Demi Nyonya Lola, ia habiskan seluruh waktu untuk merawat dan menjaganya. Memandikan, menyuapi, dan meminumkan obat. Calvin tak mengizinkan suster melakukan ini. Ia ingin dirinya sendiri yang melakukannya.

Sehari setelah kasus keguguran itu, Calvin membawa calon adiknya yang tak bernyawa itu pulang. Calvin sendiri yang memandikan, mengkafani, dan menguburkannya. Tak rela mencantumkan nama Dokter Yunus di nisan, ia mengukir nama ini: Cintya Ghaisani Azizah binti Calvin Wan.

Lalu, bagaimana dengan Dokter Yunus? Ia lari dari tanggung jawab. Justru menceraikan Nyonya Lola di hari ketiga. Perpisahan yang berlangsung cepat dan tidak elegan. Pukulan kedua bagi Nyonya Lola.

"Mama...jangan sedih lagi ya? Aku akan selalu ada untuk Mama,"

Kali ini Nyonya Lola menatap mata Calvin. Merasakan kelembutan dan kasih sayang mengalir tulus. Ia melingkarkan lengan, memeluk putra kesayangannya. Calvin balas memeluk Nyonya Lola.

"Terima kasih, Sayang. Kamu segalanya dan selalu ada untuk Mama. Mama mencintaimu, Calvin."

Ya, Calvin selalu ada untuk Nyonya Lola. Saat wanita itu berada di titik terbawah, Calvinlah yang memberikan waktu, support, dan kasih sayangnya. Calvin segalanya bagi Nyonya Lola. Semua itu Calvin lakukan tanpa syarat. Ketulusan menjadi motivasi terbesarnya. Calvin tak perlu syarat, tak perlu alasan, pujian, atau pamrih untuk mengharapkannya. Hatinya teramat indah untuk dicinta. Kalau sudah begini, siapa yang tidak mengagumi dan menyayanginya? Satu kata yang pantas untuk Calvin: loveable.

**      

Penyiapan mental diperlukan untuk menjadikan diri lebih kuat. Setiap orang perlu bahagia. Larut terlalu lama dalam kesedihan berbahaya bagi kejiwaan kita.

Salam,

Hanya sekedar berbagi

Calvin Wan berbagi

Dalam sekejap, para pembaca mengungkapkan empati. Artikel itu menyentuh hati mereka. Malu mengungkapkan empati secara langsung, banyak yang menyampaikannya via e-mail. Memenuhi inbox dengan puluhan pesan bernada kepedulian.

**     

https://www.youtube.com/watch?v=34k6QQ-kcwY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun