Penumpang gelap kebebasan informasi ada dalam kerumunan ini. Mereka inilah para penyebar hoaks. Para pembuat dan penyebar hoaks inilah yang mengancam dan merusak demokratisasi informasi melalui media sosial. Mereka memanfaatkan kecenderungan sebagian netizen yang emosional, reaktif, dan tidak berpikir terbuka. Faktanya, kabar bohong laku, sehingga telah menjadi industri tersendiri.
Pada 2017 silam, Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) melakukan survei terhadap 1.146 responden tentang distribusi berita bohong (hoaks). Hasilnya, ada 44,3% yang menerima berita hoax setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari.
Celakanya, media mainstream yang diandalkan sebagai media yang bersih dari berita hoaks dan media yang dipercaya rakyat, justru ikut terkontaminasi penyebaran hoaks. Masih berdasarkan survey yang digelar Mastel, bahwa Media arus utama juga menjadi saluran penyebaran informasi/berita hoaks, masing-masing sebesar 1,20% (radio), 5% (media cetak) dan 8,70% (televisi).
Namun di lain sisi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara dikutip dari laman Republika.co.id meyakini media mainstream atau arus utama seperti koran (media cetak) dan elektronik (radio dan televisi) tidak akan mati gara-gara media sosial. Sebab, dalam perkembangannya  media mainstream lebih mementingkan kebenaran dan keakurasian daripada kecepatan, sedangkan media sosial mementingkan kecepatan daripada keakurasian.Â
Ia menuturkan di dunia media sosial kecepatan itu nomor satu, bahkan karena mendewakan kecepatan mereka menomorduakan keakurasian.
Terlepas dari kekurangan yang ada, secara fakta media sosial mampu mengikis dominasi total media mainstream, khususnya dalam pembentukan opini massa, walaupun memang tidak dalam setiap kesempatan.Â
Pertarungan pengaruh opini antara media mainstream dengan media sosial adalah realitas media yang tak bisa dinafikkan di era ini. Munculnya media sosial juga perlu dipandang positif, khususnya bagi keberlangsungan informasi yang sehat.Â
Sebab pada dasarnya, semakin banyak rujukan informasi, semakin kaya pula perspektif saat menganalisa masalah dalam informasi tersebut. Bila perspektif semakin kaya, maka kita juga akan lebih selektif dalam memilih informasi. Kita hanya perlu melihat, mana yang akan lebih berpengaruh ke depan, apakah media mainstream? Atau malah media sosial.
"Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Peserta KKN-DR UIN SU Kelompok 163"