Mohon tunggu...
Lathifah Hanum
Lathifah Hanum Mohon Tunggu... Penjahit - I'm Not Perfect but I'm limited edition

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Media Mainstream Vs Media Sosial

11 Agustus 2020   13:30 Diperbarui: 13 Agustus 2020   17:05 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh : Lathifah hanum

Media mainstream atau konvensional saat ini menghadapi tantangan dari media sosial (social media). Kecepatan informasi dari media sosial biasanya lebih cepat dibandingkan dengan media mainstream, seperti koran, televisi, dan radio. 

Penyebaran informasi di zaman yang berbasis teknologi seperti hari ini telah banyak mengubah tatanan dan pola hidup banyak orang. Media mainstream atau media arus utama yang tentu saja sudah dikenal oleh masyarakat seolah yang mulanya menjadi "satu-satunya" penyedia informasi, kini setiap orang (pengguna media sosial/internet) dapat melakukan hal yang sama (sama-sama memproduksi dan menyebarkan berita/informasi).

Media mainstream atau media arus utama, tidak lagi sepenuhnya bertindak sebagai pembentuk dan pengontrol opini. Dinamika tersebut nampak jelas dengan tumbuhnya media sosial. 

Khususnya di Indonesia, media sosial menjadi tren yang sangat diminati masyarakat, penggunanya tidak hanya terbatas pada kaum terpelajar, melainkan masyarakat awam juga beramai--ramai menggunakannya, karena selain mudah diakses, biayanya pun sangat murah, tinggal beli paket internet lalu kita bisa berselancar di dunia maya.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa kasus nyata dimana aksi masyarakat dibentuk lewat opini di media sosial, dilansir dari laman Kompas.com pada tahun 2009 digelar aksi solidaritas "koin peduli Prita" dan berhasil mengajak masyarakat terkhusus pengguna media sosial untuk mengumpulkan koin dan disumbangkan kepada Prita Mulyasari. 

Ini adalah salah satu contoh nyata kemampuan media sosial, dalam bertindak sebagai pembanding opini terhadap media mainstream, memang sangat masuk akal, sebelumnya masyarakat menjadikan media mainstream sebagai rujukan utama informasi, karena saat itu mereka tidak punya alternatif lain.

Namun dengan munculnya media sosial, alternatif rujukan informasi menjadi sangat beragam, di samping itu, media sosial juga tidak mengenal prinsip rating guna memburu keuntungan, ini yang menyebabkan semua jenis berita bisa muncul di media sosial, di sana tak ada otoritas yang berhak menyeleksi berita,

Inilah kendala media sosial, media ini memang bisa menjadi alternatif. Ketika media besar hanya bisa diakses mereka yang punya kuasa, media sosial menjadi milik siapa saja.

 Ini media rakyat. Gagasan pewarta warga (citizen journalism) menjadi makin nyata dengan hadirnya media sosial. Tapi satu kendala bagi pewarta warga ini adalah belum hadirnya sistem kontrol. 

Selain yang tergabung dalam komunitas yang jelas, sebagian besar netizen yang menjadi pewarta ini sejatinya adalah kerumunan besar yang sulit diidentifikasi siapa sesungguhnya mereka. 

Penumpang gelap kebebasan informasi ada dalam kerumunan ini. Mereka inilah para penyebar hoaks. Para pembuat dan penyebar hoaks inilah yang mengancam dan merusak demokratisasi informasi melalui media sosial. Mereka memanfaatkan kecenderungan sebagian netizen yang emosional, reaktif, dan tidak berpikir terbuka. Faktanya, kabar bohong laku, sehingga telah menjadi industri tersendiri.

Pada 2017 silam, Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) melakukan survei terhadap 1.146 responden tentang distribusi berita bohong (hoaks). Hasilnya, ada 44,3% yang menerima berita hoax setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari.

Celakanya, media mainstream yang diandalkan sebagai media yang bersih dari berita hoaks dan media yang dipercaya rakyat, justru ikut terkontaminasi penyebaran hoaks. Masih berdasarkan survey yang digelar Mastel, bahwa Media arus utama juga menjadi saluran penyebaran informasi/berita hoaks, masing-masing sebesar 1,20% (radio), 5% (media cetak) dan 8,70% (televisi).

Namun di lain sisi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara dikutip dari laman Republika.co.id meyakini media mainstream atau arus utama seperti koran (media cetak) dan elektronik (radio dan televisi) tidak akan mati gara-gara media sosial. Sebab, dalam perkembangannya  media mainstream lebih mementingkan kebenaran dan keakurasian daripada kecepatan, sedangkan media sosial mementingkan kecepatan daripada keakurasian. 

Ia menuturkan di dunia media sosial kecepatan itu nomor satu, bahkan karena mendewakan kecepatan mereka menomorduakan keakurasian.

Terlepas dari kekurangan yang ada, secara fakta media sosial mampu mengikis dominasi total media mainstream, khususnya dalam pembentukan opini massa, walaupun memang tidak dalam setiap kesempatan. 

Pertarungan pengaruh opini antara media mainstream dengan media sosial adalah realitas media yang tak bisa dinafikkan di era ini. Munculnya media sosial juga perlu dipandang positif, khususnya bagi keberlangsungan informasi yang sehat. 

Sebab pada dasarnya, semakin banyak rujukan informasi, semakin kaya pula perspektif saat menganalisa masalah dalam informasi tersebut. Bila perspektif semakin kaya, maka kita juga akan lebih selektif dalam memilih informasi. Kita hanya perlu melihat, mana yang akan lebih berpengaruh ke depan, apakah media mainstream? Atau malah media sosial.


"Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Peserta KKN-DR UIN SU Kelompok 163"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun