Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemampuan Menerjemahkan Gonggongan Anjing

8 April 2019   13:11 Diperbarui: 8 April 2019   13:15 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Bermula saat malam pulang ke rumah setelah berburu senja di bukit. Orang mendengar anjing itu hanya menggonggong, tapi aku lebih daripada itu. "Sakitkah yang kau rasakan bila dipisahkan dari anakanakmu?" aku mampu menerjemahkan gonggonganya begitu. Ia menatapku lekatlekat seolah mempertegas betapa serius apa yang diucapkannya. Aku dibuat merinding dihadapkan keanehan. Bergegas aku melangkah ke rumah.

Lazimnya sebuah surat, yang pertama kutulis adalah basabasi salam pembuka serta menanyakan kabar dan kutulis pula pengakuanku yang dirundung kerinduan padanya. Aku tidak ingin berlama-lama pada bagian itu. Kemudian kusampaikan keinginanku untuk menceritakan padanya tentang kemampuanku bisa menerjemahkan gonggongan anjing. Kutulis panjang seolah-olah sedang bercerita, pada badan email.

Kau tahu Rathi, sejak itu aku tidaklah bisa tenang. Sampai di rumah aku dikucuri keringat. Jantungku berdegup tak wajar. Aku ketakutan Rathi. Belumlah lagi, di tengah larutnya malam, anjing itu selalu menggonggong. Aku mengintipnya pada celah jendela kamar. Ia berada di samping rumah. Menghadapkan wajahnya pada jendela, seolah ia tahu aku sedang memantaunya. Jelas aku bisa menerjemahkan gonggongannya. Kalimat yang sama, "Sakitkah yang kau rasakan bila dipisahkan dari anak-anakmu?"

Aku tidak pernah jemu untuk mengirimkannya email. Selalu ada waktu yang kukhususkan untuk fokus menuliskan celoteh-celotehku lalu kukirim padanya. Aku tidak pernah berharap ia membalasnya. Paling tidak, senang yang kurasakan bila email itu sampai. Apakah ia sudi membacanya atau tidak? Aku tidak begitu yakin ia mau membacanya. Aku tahu ia masih membenciku.

Rathi, kaupun akan bingung bila berada di posisiku. Sungguh aku bosan mendengar gonggongannya. Kufokuskan pikiranku untuk memecahkan pertanyaan yang ia ajukan. Di malam yang lain barulah aku memahami. Semua ada kaitannya dengan kejadian seminggu yang lalu. Aku hanya mengambil peran kecil dari kejadian itu. Alangkah lebih tepat, jika anjing itu meneror mereka, bukan aku.

Ia menegaskan kepergiannya adalah keputusan yang terbaik. Dan akan kembali padaku, apabila semuanya sudah kondusif. Aku menentang keras, terlebih lagi kutahu janin dalam perutnya, dengan perasaan yang tidak bersalah sama sekali ia lenyapkan. Sudah kujelaskan padanya kalau itu bukan jalan yang tepat. Kami bisa menikah untuk menutupi aib yang telah terjadi. "Aku begitu malu jika berlama-lama di sini. Omongan orang-orang sudah berembus kencang," ucapnya. Aku membalas begini, "Kalau begitu aku ikut denganmu.", "Aku pasti akan kembali." Karena aku tidak menerima itu, amarahku tersulut. Adu mulut tak terhindarkan lagi. Aku tidak bisa lagi mengendalikan tanganku pada wajahnya. Ia menjadi pribadi yang sangat membenciku. Sudah banyak email kukirimkan berisi permohonan maafku padanya.

Datanglah mereka, menanyakan padaku tentang anjing. "Dalam keluargaku tidak pernah ada riwayat yang mengajarkan untuk memelihara anjing. Kami memandang anjing adalah binatang yang menjijikkan," aku tidak berpikiran mereka akan tersinggung. Posisi kami sedang berada di bibir jalan. Tidak jauh dari kami, di bawah pohon besar seekor anjing sedang menyusui empat anaknya. Aktivitas itu dipantau oleh mereka dengan mata berbinar-binar, Rathi.

Ketika nafsu melonjak ke ubun-ubun, pikiran pun tak kuasa bekerja dengan baik. Demikianlah aku dan dia sudah tidak mampu membendung syahwat yang bergelora dalam diri. Kami melakukannya, dan tertangkap basah oleh salah seorang penduduk. Sebagaimana hukum yang tidak tertulis di kampung kami. Ketika dua anak manusia ketahuan berbuat mesum di luar ikatan pernikahaan, maka mereka akan dinikahkan. Ia sudah siap sedia menggiring kami ke tetua kampung, memberikan kesaksian tentang perbuatan kami. Aku pasrah saja dengan keadaan itu, tapi tidak dengannya. Ia belum siap kami menikah. Ia mengeluarkan sejumlah uang untuk menutup mulut orang itu.

"Apakah kau tahu pemilik anjing-anjing itu?" salah satu dari mereka bertanya padaku. "Anjing liar. Mereka tidak memiliki tuan," jawabku. "Jadi kami bisa membawanya?" mereka kembali bertanya. "Untuk?" aku mengernyitkan dahi. "Di jual di pasar. Terserah pembelinya nanti, anjing-anjing itu mau mereka apakan. Dipelihara boleh atau dikonsumsi." Kau tahu kan Rathi sejak dahulu kampung kita banyak didatangi pencari anjing. Dari penjelasannya, aku bisa menduga mereka akan membawa anjing-anjing itu ke bagian utara Sulawesi. Masih ingatkah kau? dahulu kita sering berbincang; di sana ada pasar khusus yang memperdagangkan hewan-hewan yang tak lazim dikonsumsi.

Sesaat kami bisa bernafas lega. Apa yang kami lakukan tidak dibeberkan pada orang-orang. Tapi itu hanya sesaat. Orang itu malah meneceritakan aib kami. Dasar penipu. Kami bisa apa lagi selain hanya menutup telinga. Kekasihku dibuat tidak tenang. Ia kerap mengadukan kesedihannya lantaran menjadi bahan pembicaraan tetangga. Seiring berlalunya waktu, ada satu kenyataan lain yang membuatku tertohok.

Rathiku yang manis, kubilang begini pada mereka, "Sudah lama anjing-anjing itu di sini mengusik ketenangan kami. Kami tentu senang bila kampung ini bersih dari anjinganjing. Jika membunuh anjing bukanlah suatu dosa, sejak dulu kami sudah melenyapkan mereka." Mereka saling pandang satu sama lain. Begitu bencinyakah orang di sini pada anjing? Seolah mereka saling bertanya begitu. "Jadi kami bisa mengambilnya?" salah satu mereka bertanya. "Tidak ada yang melarang," balasku.

"Ada janin dalam perutku," pernyataannya membuatku terkejut. "Bagaimana ini?" kembali ia bertanya. Aku tidak serta merta langsung merespon. Berpikir aku dengan baik. Ya, jalan satu-satunya adalah kami harus menikah. "Sudah berapa kali kujelaskan aku belumlah siap," ia menolak. "Entah sampai kapan? Banyak orang sudah tahu aib kita. Ujung-ujungnya kita tetap akan menikah bila kehamilanmu terkuak," aku mulai emosi dibuatnya. "Sebisa mungkin kita tutup mulut. Belumlah ada yang tahu perihal ini selain hanya kita berdua," katanya. Aku membalas, "Bahkan kau lupa kalau Tuhan Maha Tahu."

Pergilah mereka ke bawah pohon besar itu tempat seekor anjing menyusui keempat anaknya. Belakangan aku mengetahui rupanya mereka hanya menangkap anak anjing itu. Sang ibu dibiarkan sendiri. Dialah yang menerorku, senantiasa mengonggong di hadapanku. Aku bisa menerjamahkan gonggongannya. Ahh, betapa kesepiaannya dia telah dipisahkan dari anak-anaknya yang masih butuh asi darinya. Ingin sekali aku berbicara begini padanya, "Anak-anakmu mungkin telah diasapi, lalu diolah kemudian disantap bersama. Di dunia bukan hanya anjing bisa mengginggit manusia, tapi ada manusia yang memakan anjing." Gumamku didengar olehnya, aku terkejut ketika di luar dia kembali menggonggong. Membalas gumamku itu, "Bahkan ada manusia yang menjadi anjing."

Di hari yang lain datanglah ia padaku. Adalah pertemuan terakhir kami. Ia mengabarkan dua hal, tentang kepergiannya dan telah melenyapkan janin dalam perutnya. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak marah padanya. Ia membenciku karena itu. Aku merasa bersalah. Kusadari kesepianku tanpanya. Setiap ada kesempatan menghampiri, aku senantiasa berburu senja di pantai atau di bukit. Begitu caraku mengusir kegundahan. Momen-momen penting setelah dia pergi kubingkai dalam bentuk surat email. Ia perlu tahu aku masih berharap kepulangannya.

Rathi, keberanian dalam diriku hadir. Saat aku keluar rumah untuk berburu senja di pantai. Di depan pagar anjing itu seolah menungguku. Ia menjulurkan lidahnya, tak bosannya menatapku. Aku menghampirinya dan jongkok di dekatnya. "Kau mau apa dariku?" aku bertanya. Ia mengonggong, masih dengan pertanyaan yang sama. "Ya, sakit yang kurasakan bila dipisahkan dengan anak-anakku," aku membalasnya. "Kau tidak akan mengerti betapa sakitnya yang kurasakan," ketus anjing itu. "Aku mohon maaf soal kejadian kemarin. Harusnya aku melarang mereka mengambil anak-anakmu." Aku melihat air matanya menetes. Ia menundukkan kepala. Karena aku tidak punya waktu banyak berbincang dengannya. Aku bergegas meninggalkannya. Kau tahu apa yang terjadi, Rathi? Anjing itu membuntutiku sampai ke pantai.

Aku tidak tahu ke bumi bagian mana ia pergi. Ia tidak pernah membocorkan soal itu. Hanya alamat email yang tersisa. Ini sudah tahun kedua kepergiannya. Seandainya nasihatku ia indahkan. Sudah tentu anak kami lahir ke dunia, kami membina rumah tangga bersama. Waktu itu sebelum aku marahmarah padanya, ia menegaskan padaku bahwa ia akan kembali. Sekarang aku tidak yakin ia masih berpikiran begitu. Buktinya tak satu pun email yang kukirimkan padanya ia balas. Begitu bencinya ia padaku. "Oh, sudilah kau memaafkan aku. Lihatlah aku hampir gila dibuatmu." Pernah kucurahkan permasalahanku ini pada salah seorang kawan, ia berkomentar begini, "Perempuan jika sudah merasakan sakit yang teramat, hatinya sulit lagi memberikan kesempatan yang kedua." Tidak! Selalu kuyakini akan ada suatu waktu ia jadi baik padaku.

Aku dan anjing itu duduk bersanding di bibir pantai. Debur ombak bersahut-sahutan membasahi kaki kami. Senja telah menampakkan segala keindahannya. Anjing itu mengonggong memulai pembicaraan, sebelumnya kami hanya diam. "Kau tahu bahwa ada yang lebih anjing dari kami," ia menatapku lekat-lekat. "Siapa yang lebih anjing daripada kalian?" aku penasaran. "Adalah anjing yang mendiami kantor-kantor atau instansi-instansi. Dan seanjing-anjingnya kami, kami tidak pernah membunuh anak kami sendiri." Rathi, sejak saat itu aku mulai berkawan dengan anjing itu. Aku menjadi tuannya. Satu hal lagi, rupanya anjing itu menaruh rasa penasaran yang mendalam padamu. Maka dari itu cepatlah pulang. Jangan khawatir mengenai komunikasi antara kalian nantinya, aku memiliki kemampuan menerjemahkan gonggongan anjing.

Kemudian kutulis bagian penutup surat email itu, lagi-lagi kusisipkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas marah-marahku padanya di waktu itu. Berbeda dari surat emailku yang lain, untuk kali ini ia membalasnya di lain waktu. Aku bahagia sekali, namun begitu cepat rasa bahagia itu pergi setelah kubaca kirimannya. "Yang bisa kutangkap dari isi suratmu, kau menegaskan padaku bahwa aku adalah anjing yang lebih anjing daripada anjing itu lantaran telah kulenyapkan janin dalam perutku."***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun