"Kau pengecut! Setelah kau setubuhi aku. Kau dapati kenikmatan dariku. Kau berlari cepat-cepat. Sementara aku yang sedang memakai pakaian kalah cepat dari mereka yang memergoki kita."
"Aku tidak mengerti apa maksud Anda. Bisa Anda ceritakan lebih detil," kutaku pada Laras. Aku memintanya menceritakan lebih detil untuk memastikan saja firasatku. Ia diam beberapa saat.
"Sudah berapa banya cerita yang kau tulis?" Tiba-tiba saja Laras bertanya seperti itu. Membuatku semakin gagal paham.
"Sudah sangat banyak."
"Sudah sangat banyak juga orang yang baca?"
"Belum! Hanya ada beberapa teman dekatku yang mengapresiasi. Katanya karanganku sudah mumpuni dan sudah pantas berbicara banyak di koran-koran. Tapi aku selalu menganggap karanganku belum baik, harus banyak latihan lagi. Lagi pula aku masih dalam tahap menekuni proses kreatifitas menulis."
"Aku sepakat dengan temanmu itu. Kau memang sudah piawai mengarang. Karanganmu sudah memiliki roh. Roh itu akan selalu hidup di hati pembacanya. Jangan pesimis! Cobalah untuk mengirim karanganmu ke redekaksi. Aku yakin ia akan dimuat. Kalau pun tidak, terima dengan lapang dada."Â
"Aku sudah pernah mencobanya. Tapi gagal!" Kataku.
"Coba lagi! Jangan menyerah!" Mendengar ucapan Laras seperti itu, perlahan-lahan rasa takutku terusir. Tapi beberapa detik kemudian aku kembali takut.
"Kau boleh mengarang sesuka hati. Menciptakan banyak karakter dalam karangan-karanganmu. Tapi sayang, kau akan mati di tanganku," perkataan Laras seperti itu membuatku takut.Â
"Tunjukkan kesalahanku!" Kataku. Laras kemudian melangkah mendekatiku. Sekarang ia berdiri di pinggir ranjang. Sementara aku masih menepi di sudut ranjang. Wajah Laras semakin jelas, wajah yang sama sebelum ia memutuskan menusuk kemaluannya dengan pisau hingga ia mati.Â