Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Pengkhianat Tionghoa yang Suka Cina

2 Juli 2022   06:19 Diperbarui: 2 Juli 2022   06:23 5027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ong Tjong Hay, Pengkhianat Tionghoa yang Suka Cina (sumber: nasional.tempo.co)

Om Jiming (nama samaran), begitu aku memanggilnya. Ia selalu tampil necis dengan baju batik. Wajahnya selalu tersias senyuman, apalagi jika kita menyebut kata "Tionghoa."

Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengingatkan siapa saja untuk tidak menyebut kata "Cina." Baginya itu haram, semurtad tidak bersembahyang ke leluhur.

Saya tergabung bersamanya dalam beberapa grup perpesanan. Ia tidak banyak berkomentar, kecuali percakapan mengarah kepada kejayaan Tiongkok dan kehebatan orang-orang Tionghoa, negeri leluhurnya. Ia menjadi sangat cerewet.

Bisa dimaklumi, usia Om Jiming sudah hampir 90 tahun. Ia telah hidup melalui masa sembilan pemerintahan. Mulai dari zaman kolonial, penjajahan Jepang, hingga tujuh presiden RI.

Si Om ini sudah menjadi saksi hidup perjalanan Tionghoa keturunan di Indonesia. Khususnya di masa-masa sulit Orde Baru, saat pemberangusan budaya Tionghoa dilakukan secara sistematis.

Entah apakah ia mengenal Ong Tjong Hay alias Kristoforus Sindhunata. Karena sejujurnya, saya sendiri baru tahu kisahnya dari sebuah tulisan yang saya terima di grup perpesanan.

Sindhunata adalah keturunan Tionghoa. Ia lahir di Batavia pada tahun 1933. Beliau dikenal sebagai tokoh pembauran Indonesia. Menjadikan orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia.

Ia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bergabung pula di Angkatan Laut Republik Indonesia. Pensiun dengan pangkat terakhir Mayor Angkatan Laut.

Dalam bidang organisasi, Sindhunata pernah menjadi wakil PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Bersama Siaw Giok Tjhan, ia juga salah satu penggagas berdirinya Yayasan Trisakti.

Baca juga: Res Publica, Universitas Tionghoa yang Tertuduh PKI, Kini Trisakti

Sindhunata selalu meyakini bahwa pembauran adalah satu-satunya jalan bagi keturunan Tionghoa Indonesia. Sebagai minoritas, ia tahu persis bagaimana pentingnya proses asimiliasi.

Tapi, ia melakukannya dengan cara tidak biasa. Perkawinan antar pribumi-Tionghoa dianggap sebagai cara yang paling alami. Keinginannya bergabung di militer juga terkait keyakinannya. Bagi dirinya, militer adalah proses menanamkan semangat nasionalisme yang paling kuat.

Sampai di sini si Om Jiming mungkin akan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pasti setuju. Tapi, tunggu hingga ia tahu kisah selanjutnya.

Sindhunata memiliki pandangan yang unik. Meskipun teman-temannya lebih memilih kata Tionghoa, Sindhunata justru mempromosikan penggunaan kata Cina.

Pada seminar Angkatan Darat ke-2 di Lembang pada tahun 1966, secara mengejutkan Sindhunata dengan gamblang memilih penggunaan kata Cina. Meskipun banyak yang tidak setuju, publik menganggap ia telah mewakili kaumnya.

Sindhunata sudah bulat, tidak ada yang bisa mengubah pandangannya. Bahkan pada saat pertemuan yang diprakarsai oleh CHI (Committee for Human Rights in Indonesia), Sindhunata masih bersikeras.

Baca juga: Siaw Giok-tjhan, Menteri yang Cinta Indonesia dengan Tetap Menjadi Tionghoa.

Pertemuan tersebut menghadirkan beberapa tokoh Tionghoa yang berpengaruh. Dalam pertemuan tersebut, seluruh peserta memilih Tionghoa. Hanya Sindhunata sendiri yang memilih Cina.

Aklamasi seharusnya terjadi, Tionghoa sudah pasti. Tapi laporan ke Jakarta, mayoritas peserta memilih Cina.

Lalu Inpres No.14 Tahun 1967 pun diterbitkan. Inpres legendaris tersebut memuat kata Cina sebagai pilihan negara.

Untungnya perayaan tradisi, adat istiadat, dan kebudayan Tionghoa tidak sepenuhnya dihanguskan. Masih bisa, asalkan sembunyi-sembunyi. Tapi, konsep awalnya tidaklah demikian.

Sepertinya Sindhunata masih belum puas dengan penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, atau lembaga yang mengajarkan kebudayaan Cina. Dengan tegas ia merekomendasikan ke Soeharto, "Semuanya sebaiknya dilarang, pak Presiden."

"Tidak seperti itu juga, tentu bisa dirayakan asalkan jangan di depan umum," saya membayangkan jawaban Soeharto kala itu.

Dan sejarah kelam pun terjadi. Sejak saat itu, selama 33 tahun warga keturunan Tionghoa mengalami perlakuan diskriminatif di negeri ini. Hingga pada akhirnya diterbitkanlah Kepres Nomor 6 Tahun 2000. Gus Dur mencabut Inpres diskriminatif tersebut.

Melihat kiprah dari Sindhunata, bagi kebanyakan orang Tionghoa, itu adalah tindakan pengkhianatan. Ia adalah warga keturunan, tapi aksinya justru mencerminkan hal yang sebaliknya.

Menolak mengakui eksistensi Tionghoa di Indonesia. Atau paling tidak, bodoh karena pikiran sesat.

Mengapa Sindhunata melakukan hal demikian? Buat saya sendiri, Sindhunata adalah tokoh pembauran. Meskipun proses asimiliasi yang ia sarankan cukup kontroversial.

Lalu konspirasi teori pun beredar. Ada yang mengatakan jika ia adalah seorang Katolik yang taat. Baginya, "Anda bisa menjadi Katolik tanpa harus menjadi Cina."

Tapi menurutnya, pemerintah China komunis kala itu tidak berpikir demikian. Pada saat revolusi kebudayaan, kaum minoritas Kristen di Cina juga kena imbas. Terlarang oleh Partai Komunis.

Ada yang menduga, Sindhunata sangat khwatir jika komunis berkuasa di Indonesia untuk alasan itu. Tapi ada juga yang mengira, Sindhunata tidak bisa menerima fakta tersebut. Ia malu menjadi orang Cina, sehingga Cina-cina yang lain seharusnya juga demikian.

Ia hanya mau menyelamatkan bangsa ini berdasarkan versinya yang tidak biasa.

Benarkah demikian?

Saya lalu mencoba mengulik dari dua perspektif yang berbeda. Di satu sisi, nasionalisme Sindhunata tidak bisa diragukan lagi. Tapi pada sisi yang lainnya, menghilangkan kebudayaan adalah hal yang sia-sia.

Kebudayaan itu tidak akan pernah hilang. Kalaupun tidak lagi berada di Indonesia, masih banyak orang Tionghoa di seluruh dunia. Hanya masalah waktu bagi para keturunan Tionghoa Indonesia untuk menyerapnya.

Bagaimana dengan penggunaan kata Cina?

Untuk yang satu ini, saya harus mengaku salah. Sebabnya lidahku telah terbiasa mengucapkannnya selama berpuluh-puluh tahun. Tidak heran jika Om Jiming selalu misuh-misuh padaku. Padahal ia juga tahu, tidak mungkinlah aku menghina darah leluhurku.

Begitu pula dengan karyawan-karyawanku. Kadang mereka selip lidah. "Langganan Cina, Koh." Sesaat kemudian baru mereka sadar jika bosnya adalah orang Cina.

Menanggapi situasi canggung seperti itu, aku langsung menetralkan suasana, "iya, kasih saja si Cina potongan harga grosir." Tidak ada hinaan, umpatan, atau ejekan.

Baca juga: Aku Cina Karena Aku Indonesia

Tapi, tetap saja Om Jiming marah-marah.

Kekurangan saya mungkin belum lahir saat negeri ini sedang getol-getolnya melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Menurut papa saya, suasana saat itu cukup mencekam.

Para murid-murid sekolah diusir oleh tentara bersenjata lengkap. Warga keturunan mendapat tekanan, beberapa sampai harus mengungsi. Tidak heran jika hal tersebut menjadi sebuah pengalaman pahit bagi Om Jiming.

Tapi saya juga pernah mengalami tindakan diskriminatif. Diteriaki Cina hingga ditempeleng. Sebabnya enteng, saya keselip berbahasa Cina di sekolah. Pak guru tidak bisa menerima itu.

Di zaman bapakmu itu adalah pelanggaran. Lagi pula si bapak guru hanya memberiku pelajaran. Tindakan yang sama juga akan ia lakukan pada saat saya menjadikan bendera merah putih sebagai kain lap tangan. Jadi untuk apa marah-marah lagi.

Baca juga: Aku Trauma dengan Sang Merah Putih

Kata Tionghoa atau Tiongkok memang sebaiknya digunakan. Keputusan Nomor 12 Tahun 2014 telah mengukuhkannya. Tapi, istilah Cina tidak bisa begitu saja dienyahkan. Itu hanya urusan semantik saja.

Lagipula beberapa padanan kata lebih cocok dengan kata cina. Seperti obat cina, makananan cina, atau tumbuhan sirih cina (peperomia pellucida). Masa mau marah?

Saya tidak akan marah jika kamu, kamu, dan kamu memanggilku dengan Cina. Tapi saya tidak akan tinggal diam jika ada orang yang masih meragukan Keindonesiaanku.

Wasana kata

Meskipun kontrovesial, saya tidak menganggap Ong Tjong Hay alias Kristoforus Sindhunata sebagai penghianat Tionghoa. Ia pasti punya alasan untuk itu. Sayangnya tidak saya menemukan referensinya.

Lagipula kalau istilah "pengkhianat" yang digunakan, siapa sih yang dikhianati? Warga keturunan tentunya. Tapi, apakah Sindhunata mengkhianati bangsanya? Itu yang harus diperjelas!

Perlakuan diskriminatif kepada orang Tionghoa telah menjadi bagian dari sejarah ini. Pertanyaannya, apakah kita mau terus demikian? Buat saya pribadi sih, diperlukan dua tangan untuk saling berjabatan.

Hitam dan Putih bukanlah musuh. Jika bersatu, itu adalah keseimbangan sejati. Laksana filsafat Yin yang. Dua energi yang berbeda namun saling melengkapi. Keduanya akan membentuk sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Yang bernama Alam semesta.

**

Referensi: 1 2 3 

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun