Setiap tahun, umat Islam di seluruh antero dunia memperingati Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban sebagai wujud ketaatan dan pengorbanan. Namun,  lebih dari sekadar ritual tahunan, Idul Adha sejatinya juga merupakan ajakan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang kian tergerus oleh masifnya gaya hidup  individualisme dan kian menganganya ketimpangan sosial, khususnya  yang saat ini terjadi di negeri ini.
Dalam kisah Nabi Ibrahim, kita melihat potret pengorbanan sejati. Peristiwa tersebut bukan sekadar kesiapan seorang ayah "mengorbankan" anaknya, Ismail, tetapi juga kesanggupan menundukkan ego dan kepentingan pribadi demi menjalankan perintah Tuhan.
Seperti yang ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, "Yang diuji dari Ibrahim bukan nyawa anaknya, tapi kelurusan hati dan ketulusan iman."
Makna tersebut kini  menemukan relevansinya dalam kehidupan berbangsa kita. Idul Adha mengingatkan bahwa pengorbanan bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk keberanian untuk melepaskan ambisi pribadi demi kemaslahatan bersama, terutama di tengah situasi sosial yang sarat dengan ketimpangan dan krisis moral.
Pada banyak wilayah Indonesia, Idul Adha menjadi momen pertemuan antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Di Minangkabau, misalnya, semangat kurban ditransformasikan melalui tradisi makan bajamba sebagai wujud kebersamaan. Di wilayah lain, pembagian daging kurban diorganisasi dalam semangat gotong royong, menjadikannya lebih dari sekadar ritual, melainkan manifestasi nilai solidaritas dan keadilan sosial.
Kyai Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pernah menegaskan bahwa "agama yang tidak memperhatikan nasib kaum lemah hanyalah simbol." Dalam konteks ini, ibadah kurban bukan sekadar bentuk ketaatan spiritual, tetapi juga pesan sosial yang kuat: bahwa agama harus hadir dalam dapur, di sawah, dan di tengah-tengah masyarakat miskin.
Pesan ini terasa mendesak ketika kita melihat fakta bahwa banyak saudara sebangsa masih hidup dalam kekurangan, bahkan untuk sekadar mencicipi daging sekali setahun. Maka dari itu, kurban seharusnya menjadi pengingat bagi mereka yang berpunya: bahwa rezeki yang dititipkan bukan untuk ditimbun, melainkan dibagi.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pernah menyampaikan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu bagaimana berkorban." Kata-kata ini seolah menjadi cermin bagi kondisi bangsa saat ini.
Di tengah maraknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya empati dari sebagian elite, semangat pengorbanan justru terasa asing. Yang disembelih bukan ego, tapi nurani.
Idul Adha juga membawa pesan lintas iman. Nilai-nilai seperti ketulusan memberi, empati kepada yang lemah, dan keadilan sosial adalah nilai-nilai universal yang menyatukan kita sebagai sesama manusia.