Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cerpen-Gram Multikultural: Senjata Baru Guru Lawan Intoleransi dan Lemahnya Literasi

15 September 2025   18:30 Diperbarui: 15 September 2025   18:30 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bayangkan sebuah kelas di sebuah SD di Kabupaten Pati. Bel berbunyi, dan bukunya buku pelajaran Matematika atau IPA, siswa justru mengeluarkan sebuah buku saku berwarna-warni. Dalam 15 menit berikutnya, mereka menyelami sebuah cerita pendek tentang persahabatan antara Aisyah yang rajin salat dan Komang yang merayakan Nyepi. Cerita ini tidak hanya menarik, tetapi juga dirancang khusus untuk menanamkan nilai toleransi dan menghargai perbedaan. Selamat datang di inovasi terbaru dunia pendidikan: Buku Saku "Cerpen-Gram Multikultural".

Akar Masalah: Ketika GLS dan PPK Jalan Sendiri-sendiri

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah dua program unggulan Kemendikbud. Idealnya, kedua program ini bersinergi. Membaca (GLS) menjadi kendaraan untuk menanamkan nilai-nilai baik (PPK). Namun, realita di lapangan seringkali berbeda.

Banyak sekolah, khususnya di daerah seperti Kabupaten Pati, masih kesulitan menerjemahkan integrasi ini. GLS seringkali hanya sekadar "15 menit membaca" tanpa panduan yang jelas, sementara PPK menjadi materi hafalan yang kering. Guru-guru pun kebingungan mencari media yang praktis, efektif, dan disukai siswa untuk menyatukan kedua program ini.

Data Intoleransi yang Mencemaskan dan Peran Sekolah

Di sisi lain, tantangan karakter yang dihadapi generasi muda semakin kompleks. Data dari SETARA Institute (2022) mencatat masih tingginya kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Ditambah dengan derasnya arus globalisasi dan pesatnya perkembangan gadget, nilai-nilai kebangsaan dan multiculturalisme seperti tenggelam.

Sekolah, sebagai garda terdepan pembentuk karakter, membutuhkan senjata yang ampuh. Senjata itu harus bisa menembus dunia anak-anak zaman now: menarik, praktis, dan relevan dengan kehidupan mereka.

Cerpen-Gram: Jawaban yang Kreatif dan Kontekstual

Berangkat dari masalah inilah, sebuah terobosan hadir: Buku Saku "Cerpen-Gram". Namanya yang catchy, mengambil konsep dari "Instagram", langsung membuatnya mudah diterima oleh siswa yang memang generasi digital native.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun