OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bayangkan sebuah kelas di sebuah SD di Kabupaten Pati. Bel berbunyi, dan bukunya buku pelajaran Matematika atau IPA, siswa justru mengeluarkan sebuah buku saku berwarna-warni. Dalam 15 menit berikutnya, mereka menyelami sebuah cerita pendek tentang persahabatan antara Aisyah yang rajin salat dan Komang yang merayakan Nyepi. Cerita ini tidak hanya menarik, tetapi juga dirancang khusus untuk menanamkan nilai toleransi dan menghargai perbedaan. Selamat datang di inovasi terbaru dunia pendidikan: Buku Saku "Cerpen-Gram Multikultural".
Akar Masalah: Ketika GLS dan PPK Jalan Sendiri-sendiri
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah dua program unggulan Kemendikbud. Idealnya, kedua program ini bersinergi. Membaca (GLS) menjadi kendaraan untuk menanamkan nilai-nilai baik (PPK). Namun, realita di lapangan seringkali berbeda.
Banyak sekolah, khususnya di daerah seperti Kabupaten Pati, masih kesulitan menerjemahkan integrasi ini. GLS seringkali hanya sekadar "15 menit membaca" tanpa panduan yang jelas, sementara PPK menjadi materi hafalan yang kering. Guru-guru pun kebingungan mencari media yang praktis, efektif, dan disukai siswa untuk menyatukan kedua program ini.
Data Intoleransi yang Mencemaskan dan Peran Sekolah
Di sisi lain, tantangan karakter yang dihadapi generasi muda semakin kompleks. Data dari SETARA Institute (2022) mencatat masih tingginya kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Ditambah dengan derasnya arus globalisasi dan pesatnya perkembangan gadget, nilai-nilai kebangsaan dan multiculturalisme seperti tenggelam.
Sekolah, sebagai garda terdepan pembentuk karakter, membutuhkan senjata yang ampuh. Senjata itu harus bisa menembus dunia anak-anak zaman now: menarik, praktis, dan relevan dengan kehidupan mereka.
Cerpen-Gram: Jawaban yang Kreatif dan Kontekstual
Berangkat dari masalah inilah, sebuah terobosan hadir: Buku Saku "Cerpen-Gram". Namanya yang catchy, mengambil konsep dari "Instagram", langsung membuatnya mudah diterima oleh siswa yang memang generasi digital native.