OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 6: Persiapan Sayembara
Malam itu, setelah mendengar nasihat Kakek Sabak, hati Pancapana menjadi lebih tenang. Ia sadar bahwa dendam semata tidak akan membawa kejayaan, dan persahabatan lebih berharga daripada kemuliaan yang diperoleh dengan cara curang.
"Indrayana," katanya lirih, "maafkan aku. Amarah membuatku buta. Kita seharusnya berjalan bersama, bukan saling melukai."
Indrayana menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Aku pun salah, Pancapana. Persahabatan kita jauh lebih penting daripada perebutan kehormatan."
Candradewi yang sejak tadi menahan tangis, kini tersenyum lega melihat kedua sahabat itu berbaikan.
Keesokan harinya, mereka bertiga berangkat menuju Gunung Batur, tempat pembangunan candi akan dimulai. Di sana, para pemuda dan pertapa dari berbagai daerah sudah berkumpul, masing-masing berharap bisa memenangkan hati Putri Pramudawardhani.
Di antara mereka, tampak Sidha Kalagana. Pertapa licik itu berdiri dengan penuh percaya diri, meski wajahnya menyimpan kegelisahan. Ilmu gendam yang ia kuasai tidak berguna untuk memahat batu atau menyusun candi. Namun ia yakin bisa menemukan jalan curang untuk menang.
Sementara itu, Pancapana dan Indrayana mulai bekerja sama. Pancapana menggunakan tenaganya untuk membelah batu-batu besar, sementara Indrayana dengan kepiawaiannya mengukir relief dan arca. Candradewi ikut membantu menyiapkan perbekalan dan memberi semangat.
"Jika kita bersatu, kita bisa menyelesaikan apa pun," ujar Indrayana, matanya berbinar menatap hasil pahatan pertama.