OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 2: Pewaris yang Terlupakan
Kabar yang diungkapkan Resi Bayumurti membuat Pancapana tertegun. Hatinya seperti disambar petir. Ia yang selama ini mengira hanya anak angkat resi, kini tahu dirinya adalah putra seorang raja besar yang gugur dikhianati.
"Jadi... aku pewaris tahta Mataram?" Pancapana berbisik, suaranya bergetar.
Resi Bayumurti mengangguk pelan. "Benar, anakku. Kau adalah darah daging Prabu Sanjaya. Saat Panangkaran merebut tahta, aku menyelamatkanmu. Kini sudah waktunya kau tahu siapa dirimu sebenarnya."
Pancapana mengepalkan tangan. Bayangan wajah ayahnya melintas dalam ingatan---sosok yang gagah, namun tumbang oleh pengkhianatan. Darah muda Pancapana mendidih. "Kalau begitu, aku akan kembali ke Mataram! Aku akan menuntut balas!"
"Pancapana!" seru Indrayana, khawatir melihat sorot matanya. "Kau tidak boleh gegabah. Jalan ke sana penuh bahaya."
Candradewi juga maju, suaranya lirih namun tegas. "Jangan tinggalkan kami. Jika kau harus menempuh jalan itu, biarkan kami ikut menemanimu."
Pancapana menatap kedua sahabatnya. Sesaat hatinya luluh, namun dendam yang membara membuatnya tak mungkin mundur. "Baiklah. Kalau kalian bersedia menanggung risikonya, ikutlah bersamaku."
Mereka bertiga pun memulai perjalanan menuju Hutan Randualas, jalan rahasia menuju pusat Mataram. Hutan itu terkenal angker, dijaga oleh dua naga raksasa: Sarpaluyung dan Sarpajati, makhluk purba yang menebar teror bagi siapa pun yang mencoba melintas.
Langkah kaki mereka terasa berat. Pepohonan menjulang bagaikan dinding hitam, suara-suara aneh menggema dari kegelapan. Tiba-tiba tanah bergetar, udara panas berhembus. Dari balik rerimbun muncul dua naga mengerikan, sisiknya berkilat bagai baja, matanya merah menyala.