OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagi sebagian orang, toilet terminal hanyalah ruang singgah.
Bagi Sastro, di sanalah harga dirinya diuji.
Setiap pagi ia datang membawa ember, pel, dan sabun cuci. Bau pesing bercampur wangi karbol sudah akrab di hidungnya. Bising klakson bus, teriakan calo, dan gesekan sandal penumpang jadi musik latar hari-harinya. Tak ada yang istimewa, kecuali ketekunan seorang lelaki kecil yang menjaga kebersihan ruang yang jarang dipandang.
Suatu siang, ketika sedang mengepel, kakinya menyenggol sebuah dompet. Lusuh, tapi penuh isi: uang, kartu identitas, dokumen penting. Ia buru-buru mencari alamat di KTP dan mengantarnya ke rumah pemilik.
Namun balasan yang datang justru tuduhan. "Kalau memang jujur, kenapa tidak langsung lapor ke kantor terminal? Jangan-jangan uangnya sudah kau ambil duluan!" Ucapan itu menampar lebih keras dari bau toilet yang menyengat. Sastro memilih pulang dengan dada panas dan bibir terkunci.
Beberapa hari berselang, ujian datang lebih berat. Sebuah tas hitam tertinggal di bilik toilet. Isinya membuat jantungnya melonjak: seratus juta rupiah, rapi terikat, bersama map berisi dokumen perusahaan.
Sastro duduk lama di bangku pojok, tas di pangkuan. Uang sebanyak itu bisa mengubah nasib: membuka warung kecil, memperbaiki rumah, atau sekadar hidup tanpa dihantui tagihan. Bayangan-bayangan indah itu menari di kepalanya, lalu perlahan memudar. Ia menutup kembali resleting tas, menggenggam gagang pelnya lebih erat.
"Kalau aku mengambil ini, aku akan kehilangan diriku sendiri," batinnya.
Dengan langkah gontai tapi mantap, ia mencari alamat yang tercantum di dokumen.
Pemilik tas itu, seorang manajer bernama Ratna Wiratmi, menyambut dengan wajah pucat bercampur lega. "Itu uang gaji karyawan. Kalau hilang, entah bagaimana nasib mereka." Ia meraih tangan Sastro dengan tatapan tulus. "Kau menyelamatkan lebih dari sekadar uang."
Beberapa minggu kemudian, Sastro dipanggil lagi. Bukan untuk disalahkan, melainkan ditawari pekerjaan baru sebagai asisten gudang di bawah pengawasan Pak Surya. Bukan jabatan tinggi, tapi cukup membuatnya berdiri lebih tegak.
Kini, di terminal, orang masih mengenalnya sebagai mantan penjaga toilet. Bedanya, ada tambahan cerita yang selalu dibisikkan orang: tentang seorang lelaki sederhana yang memilih jujur, meski dunia seolah memberi kesempatan untuk sebaliknya.
Dan bagi Sastro, setiap kali ia melewati toilet lama tempatnya bekerja, ia tahu satu hal:
warisan terbaik yang bisa ia tinggalkan bukanlah harta, melainkan nama yang bersih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI