Berbeda. Kata yang terlalu sering diucapkan, seperti sapaan basa-basi yang keluar dari mulut orang di pagi hari tanpa benar-benar mereka pikirkan. Kita hidup di zaman yang sibuk, terlalu sibuk, di mana orang merasa harus pandai bersosialisasi, mengumpulkan simpati seperti perangko, membangun jaringan pertemanan yang luas demi rasa aman yang rapuh.
Aku tidak melakukannya.
Tapi entah kenapa, aku tetap terhenti pada pertanyaan yang sama: apakah aku berbeda?
Banyak orang sedang mencari mata angin mereka, utara, timur, selatan, atau barat, tempat di mana mereka merasa diterima, nyaman, aman. Aku masih berada di titik tengah, persis di perpotongan semua arah. Saat aku merasa perlu ke selatan, aku memaksa diriku kembali ke tengah. Bukan karena itu yang paling benar, tetapi karena aku tidak mau tersesat di jalan yang akan membuatku lelah sebelum sampai.
Kata orang, lebih baik berada di satu titik agar terlihat konsisten.
Tapi apa sebenarnya variabel yang menentukan bahwa seseorang harus setia pada satu mata angin? Bukankah lebih baik menjadi fleksibel? Ketika badai datang dari satu arah, mengapa harus tetap di sana, menerima hantamannya, seolah itu kewajiban yang diwariskan?
Aku bukan orang yang bisa memilih sepenuhnya berdasarkan keinginanku, tidak ada yang benar-benar bisa. Tapi aku percaya, menyusun strategi bijak untuk diri sendiri adalah hak yang tidak boleh direbut siapa pun.
Berjalan mengikuti pusaran angin buatan, angin yang tidak lahir dari kebijaksanaan, membuatku sesak. Aku tidak bisa menormalkan itu. Selalu ada pertanyaan "kenapa" yang keluar di kepalaku. Kenapa dunia memelihara moral seperti benda antik, diletakkan di lemari kaca, dipuji keindahannya, tapi tidak pernah dipakai.
Sulit mencari teman sebaya untuk membicarakan hal-hal seperti ini. Sulit, dan mahal, mahal dalam arti aku harus membayar dengan kesunyian. Tapi aku tidak merasa kekurangan. Rasanya seperti memasukkan uang ke kotak persembahan di gereja, memberi karena ingin bersyukur, bukan karena ingin kembali.
Sore ini, saat berjalan ke Blok M untuk membeli buku, aku melihat sesuatu yang aneh tapi akrab. Lampu lalu lintas merah. Tapi tidak ada yang berhenti di tempatnya. Semua berhenti enam meter setelah tiang lampu. Aku berdiri di sana, terpaku. Apa yang mereka pikirkan? Tentang konsekuensi? Tentang pekerjaan yang harus dikejar? Atau hanya kebiasaan yang diam-diam diwariskan? Yang membuatku bingung, perlahan semua orang melakukannya. Tanpa kesepakatan, tanpa tanda, mereka menjadi sebuah kelompok.
Kalau ini peta mata angin, di mana posisi mereka?
Berada di "zona seharusnya" membuatku tidak nyaman. Tapi lama-lama aku menemukan sebuah formula kecil untuk bertahan, menjadi tulus pada diri sendiri, beradaptasi secukupnya, memperkecil frekuensi interaksi yang menguras energi, memilah prioritas, dan tahu kapan harus berada di suatu tempat. Itu cukup membuatku aman, meski aku berdiri di atas pusaran mata angin, tanpa pernah masuk sepenuhnya ke dalamnya.
Menjadi berbeda bukan kesalahan. Kau tahu nilai dirimu, dan kau pastikan tidak merugikan orang lain. Manusia rumit, dengan variabel yang tak terhitung jumlahnya. Tidak sama bukan berarti terasingkan, kadang justru itulah keunikan kita. Mata manusia, seperti naluri, selalu tertarik pada yang berbeda di antara yang seragam.